"Ini
menyakitkan. Kami menginvestasikan lebih dalam konservasi badak di Vietnam,
tetapi kami gagal menyelamatkan hewan unik ini ~ Direktur WWF Vietnam, Tran Thi
Hien Minh”
Balai Taman Nasional Ujung Kulon (TNUK)
merilis kabar bahwa populasi Badak Jawa mengalami peningkatan. Dari hanya 35
individu pada 2011 (22 jantan, 13 betina, 5 di antaranya berusia muda),
meningkat menjadi 51 individu pada 2012 (29 jantan, 22 betina, dan 8 di antaranya
berusia muda).
Badak Jawa bercula satu |
Badak Jawa (Rhinoceros sondaicus Desmarest, 1822 ),
merupakan satwa yang dilindungi undang-undang. Dia termasuk dalam kelompok 14
jenis satwa yang mendapat prioritas Kementerian Kehutanan untuk peningkatan populasinya
hingga sebesar 3% sesuai kondisi biologis dan habitatnya (http://www.republika.co.id/berita/video/ficer/13/04/11/ml38oe-populasi-badak-jawa-kian-meningkat).
Kabar ini menjadi sangat
menggembirakan, pasalnya jenis badak bercula satu ini kini hanya tinggal yang
terdapat di TNUK, menyusul kabar bahwa kerabat badak ini di India dan Vietnam telah
punah pada 2011. WWF dan International Rhino Foundation
mengatakan, badak Jawa terakhir di Vietnam diduga dibunuh pemburu liar. Mereka
mengincar cula binatang tersebut.
Sejak
2008 lalu, hanya satu badak saja yang tampak dan telah tercatat di Vietnam.
"Ini menyakitkan. Kami menginvestasikan lebih dalam konservasi badak di
Vietnam, tetapi kami gagal menyelamatkan hewan unik ini," kata Direktur
WWF Vietnam, Tran Thi Hien Minh. Para penulis melaporkan dalam Extinction of the Javan Rhino from Vietnam,
bahwa analisis genetik yang telah dilakukan pada contoh kotoran badak yang
dikumpulkan 2009 hingga 2010 di Taman Nasional Cat Tien menunjukkan, kotoran
itu dimiliki satu individu saja.
Setelah
survei selesai, para konservasionis menemukan badak yang telah terbunuh dengan
kaki tertembak dan cula yang telah terpotong. Subspesies yang tersisa, yaitu Rhinoceros sondaicus hanya
ditemukan di Jawa, Indonesia. Ketua Badan Internasional Konservasi Alam (IUCN/International
Union for Conservation Nature) untuk spesialisasi badak di Asia, Bibhab Kumar
Talukdar, mengatakan, kematian badak Jawa di Vietnam adalah sebuah pukulan.
"Kita harus belajar dari kejadian ini untuk memastikan agar nasib badak
Jawa di Indonesia tidak akan seperti yang terjadi di Cat Tien untuk masa
datang," ujarnya (http://www.tempo.co/read/news/2011/10/25/061363213/Badak-Jawa-Dinyatakan-Punah-di-Vietnam).
Badak
Jawa selain menjadi satu dari lima spesies badak paling langka yang ada di
dunia, juga merupakan salah satu spesies mamalia terlangka di dunia. Dia masuk
dalam Daftar Merah IUCN, yaitu dalam kategori sangat terancam atau critically endangered. Penelitian
terhadap populasi Badak Jawa di Ujung Kulon telah dilakukan oleh WWF sejak 1962,
dengan dukungan ahli Profesor Rudolph Schenkel.
Badak ini lebih kecil daripada badak kerabat dekatnya di india, dan lebih dekat dalam besar tubuh dengan Badak Hitam (dua badak terakhir sudah dinyatakan punah). Ukuran culanya biasanya lebih pendek dari 20 cm, lebih kecil daripada cula pesies badak lainnya. Badak ini pernah menjadi salah satu badak di Asia yang paling banyak menyebar. Meski disebut "Badak Jawa", binatang ini tidak terbatas hidup di Pulau Jawa, tapi di seluruh Nusantara, sepanjang Asia Tenggara, dan India serta Tiongkok (http://www.wwf.or.id/cara_anda_membantu/bertindak_sekarang_juga/rhinocare/badakjawa/ dan http://map-bms.wikipedia.org/wiki/Badak_jawa).
Sementara
itu, pada November 2012, IUCN juga telah menerbitkan sebuah laporan
menyedihkan: Badak Hitam Afrika Barat (Diceros
bicornis longipes) sudah tidak bisa ditemukan lagi di habitatnya
alias sudah punah. Badan yang berpusat di Jenewa, Swiss, itu juga melampirkan
temuan terbarunya yang menyebutkan, dua spesies binatang badak langka lainnya
juga akan menyusul nasib badak hitam itu, yaitu Badak Putih Utara Afrika Tengah
(Ceratotherium simum simum) dan Badak
Jawa di TNUK, Indonesia (http://www.jurnas.com/halaman/9/2011-11-12/188798).
IUCN
juga telah menerbitkan sebuah laporan yang menyatakan populasi badak di Afrika
sedang mengalami kondisi perburuan liar terburuk. Kebanyakan mereka mengambil
culanya, kemudian diperdagangkan melalui jalur ilegal untuk permintaan pasar
obat Asia (http://www.tempo.co/read/news/2011/10/25/061363213/Badak-Jawa-Dinyatakan-Punah-di-Vietnam).
Kepala
Urusan Kerjasama dan Humas Taman Nasional Ujung Kulon, Indra K Harwanto
mengungkapkan, cula menjadi alat perlindungan diri badak dari serangan musuh.
Dia akan menyerang jika diganggu. Karena itulah, para pemburu akan menembak
atau meracunnya dulu sebelum memotong culanya. Padahal, kata Indra, khasiat
cula badak masih sebatas mitos. "Belum ada peneliti yang membuktikan
khasiat cula badak," ujarnya (http://nasional.news.viva.co.id/news/read/324029-cula-badak-obat-kuat-dan-obat-kanker--mitos).
Sayangnya,
harga cula di pasar ilegal sangat mahal, lebih mahal dari emas atau kokain
dalam beberapa kasus, yakni bisa mencapai 65.000 dolar AS atau sekitar Rp 589
juta per kilogram. Selama berabad-abad, cula badak digunakan dalam pengobatan Cina.
Digerus jadi bubuk atau dicampur air panas untuk mengobati berbagai penyakit
termasuk rematik, asam urat, demam tinggi, bahkan kerasukan setan.
Dalam beberapa tahun, cula badak juga mashyur
sebagai obat kuat, bahkan diyakini bisa mengobati kanker. “Ini sangat tragis,
melihat pembunuhan brutal binatang yang berharga, demi culanya. Lalu, cula itu
dijadikan obat yang bahkan sama sekali tidak berharga secara medis,” kata
Pelham Jones, ketua Private Rhino Owners Association, Afrika Selatan (http://bioenergicenter.com/artikel/badak-dibantai-cula-dijadikan-obat-kuat).
Di Afrika Selatan, saat ini rata-rata dua
badak terbunuh setiap hari akibat perburuan ilegal. "Perburuan sekarang di
luar kendali," ujar penulis utama dari satu kelompok peneliti lingkungan, Dr Duan Biggs, dari Universitas Queensland.
Biggs adalah salah seorang yang memiliki ide untuk melegalkan perdagangan cula
badak justru untuk menyelamatkan badak. Para peneliti menganjurkan mendirikan
sebuah organisasi penjualan sentral yang bisa mendeteksi DNA dari serutan sidik
jari sehingga bisa mengendalikan pasar.
Tetapi langkah ini banyak menuai kritik
bagi aktivis satwa liar. "Kami tidak mendukung gagasan perdagangan yang
disahkan seperti ini. Karena kami hanya berpikir itu tidak akan
dilakukan," kata Dr Colman O'Criodain, analis kebijakan perdagangan satwa
liar. Menurutnya, perdagangan yang dilegalkan seperti ini justru bisa
membuatnya lebih buruk (http://www.tempo.co/read/news/2013/03/02/061464606/Peneliti-Perdagangan-Cula-Dilegalkan-Badak-Selamat).
Newspeg:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar