4/10/2013

Ketika Nyamuk Mulai Resisten, Nyamuk Mandul Bisa Jadi Solusi



“Jika pengembangan Teknik Serangga Mandul (TSM) berhasil diterapkan, telur-telur dari nyamuk jantan mandul yang diternakkan mungkin suatu saat bisa dijual mahal”

Penggunaan obat-obatan anti nyamuk dalam jangka panjang bisa membuat nyamuk resisten terhadap kandungan senyawa yang dipakai untuk mengusir mereka. Karena itu pakar epidemiologi Universitas Indonesia (UI) Tri Y.Wahyono mengimbau masyarakat yang bermaksud mencegah penularan demam berdarah dengue (DBD) agar berhati-hati menggunakannya.
Haedes dan Aegypta (Oxitec.com)

Apalagi selain nyamuk menjadi resisten, krim anti nyamuk juga berbahaya bagi kulit. "Apabila ditinjau dari produk kimia, krim seperti itu jika dipakai secara terus-menerus (juga) akan menimbulkan iritasi kulit," kata Tri usai konferensi pers dan diskusi yang bertajuk "Langkah Pencegahan Demam Berdarah Paling Efektif" di Rumah Sakit Umum Pusat Fatmawati, Jakarta, Rabu (3/4). 

Untuk itu, ia menyarankan agar masyarakat membaca aturan pakai sebelum menggunakan produk-produk tersebut. Dia juga meminta pemerintah agar lebih menaruh perhatian pada penggunaan produk-produk anti nyamuk, khususnya yang dalam bentuk krim (http://www.republika.co.id/berita/gaya-hidup/info-sehat/13/04/04/mkon7s-awas-bahaya-sering-pakai-krim-antinyamuk).

Mengenai resistensi nyamuk terhadap obat-obatan pembasmi serangga ini, Penelitian dari London School of Hygiene dan Tropical Medicine mengungkapkan, obat nyamuk yang banyak digunakan dalam rumah tangga dinilai sudah kehilangan keampuhannya dalam membasmi nyamuk. Pembasmi serangga hanya efektif untuk penggunaan pertama, setelah itu nyamuk sudah kebal, sebut penelitian itu.

Zat N-diethyl-meta toluamide (Deet) merupakan bahan yang biasa digunakan dalam pembasmi serangga. Bahan itu digunakan militer AS saat perang di hutan pada Perang Dunia II. Sampai beberapa tahun, tidak jelas bagaimana zat kimia itu bekerja. Namun, peneliti mengungkapkan serangga tidak menyukai baunya. Namun, nyamuk-nyamuk kemudian jadi resisten terhadapnya.

Penelitian dilakukan pada nyamuk Aedes aegypti yang menjadi penyebar virus DBD, dengan menggunakan  Deet. Dalam percobaan, nyamuk tidak mau mendekati seseorang yang menggunakan Deet Namun beberapa jam kemudian, peneliti menemukan deet kehilangan efektivitasnya dan nyamuk kembali menggigit manusia. "Kami merekam bagaimana respon reseptor di antena nyamuk pada Deet, ternyata nyamuk tidak lama sensitif terhadap zat kimia," ungkap sang peneliti, James Logan, seperti dilansir BBC.

Dalam penelitian baru-baru ini, tim yang sama menemukan perubahan gen dalam nyamuk yang membuat mereka kebal terhadap Deet. Meski demikian, dia menekankan masyarakat di daerah yang berisiko tidak harus menghentikan penggunaan Deet (http://www.republika.co.id/berita/senggang/unik/13/02/21/mijyiv-nyamuk-sudah-kebal-pembasmi-serangga).

Lebih jauh mengenai Deet, penelitian terbaru telah menemukan bahwa masalah kesehatan dari penggunaan Deet jauh lebih besar daripada efektivitasnya terhadap serangga. Potensi efek samping zat  ini terlalu berbahaya untuk diabaikan. Pada serangga bahkan mamalia, Deet menjadi racun ke sistem saraf pusat. Bagaimana dengan manusia?

Deet yang ditemukan pada 1953, merupakan insektisida kuat yang digunakan di lebih dari 400 produk obat anti nyamuk. Penelitian di Duke Medical Center di North Carolina menemukan bahwa paparan Deet dapat merusak otak, menyebabkan masalah seperti kelemahan otot, kurangnya koordinasi, dan kesulitan pada memori dan kognisi (http://id.prmob.net/deet/obat-nyamuk/penyakit-lyme-578229.html).

Karena penyebaran penyakit oleh nyamuk bersifat epidemi, mengingat nyamuk adalah hewan yang bisa terbang dan terbawa ke mana-mana (misalnya terbawa mobil) maka pembasmian nyamuk tidak bisa sendiri-sendiri. Karena itulah dalam masa-masa kehidupan kita, muncul praktik fogging.  Akan tetapi, pakar menilai upaya fogging atau pengasapan untuk memberantas nyamuk bukan cara yang efektif.

Dikatakan Tri Y. Wahyono, fogging kurang efektif karena dalam penggunaannya cenderung menyemprot secara massal dan tidak tepat sasaran. ”Fogging bisa dilakukan jika sudah terjadi Kejadian Luar Biasa (KLB) di suatu wilayah,” ujarnya.  Cara yang efektif adalah tetap “3M Plus” (Menguruk, Menutup, Mengubur), plusnya menggunakan insektisida," kata Tri saat menyampaikan disertasinya berjudul "Modeling Intervensi Penyakit DBD di Indonesia" di Depok, Selasa (15/1).

Ia mengatakan penggunaan insektisida lebih efektif, karena mampu mengurangi kecenderungan seseorang terkena DBD. Persentasenya hingga 50 persen. Namun begitu, Tri tetap menekankan bahwa penggunaan insektisida perlu pengawasan yang ketat, dan dosisnya tidak boleh terlalu banyak karena akan berdampak kepada kesehatan karena mengandung toxin (racun) (http://www.republika.co.id/berita/nasional/umum/13/01/15/mgnx5u-pakar-fogging-tak-efektif-berantas-nyamuk).

Padahal sejumlah penelitian di taha air juga sudah menghasilkan cara mengendalikan gempuran nyamuk penyebab DBD yang sangat alami, dengan mengendalikan perilaku nyamuk. Cara tersebut adalah dengan mengembangkan Teknik Serangga Mandul (TSM).  Penelitian ini diupayakan setelah terbukti banyak wilayah yang nyamuknya makin resisten terhadap metode fogging (pengasapan).

TSM telah diujicobakan di tiga wilayah: Salatiga, Banjarnegara dan Bangka Barat. Hasilnya ternyata mampu menurunkan populasi vektor (nyamuk pembawa penyakit). Meski dalam hal penurunan kasus DBD, hal tersebut masih perlu pembuktian lebih lanjut. Untuk menjadi program nasional, TSM masih membutuhkan pengkajian lebih luas lagi. Misalnya soal apakah sarana yang dibutuhkan dalam pengembangan TSM bisa diadakan secara masal (http://www.republika.co.id/berita/nasional/jawa-tengah-diy-nasional/12/09/25/mawj5f-serangga-mandul-ampuh-basmi-nyamuk-demam-berdarah).

Pengembangan secara masal pada TSM tampaknya tidak bisa tidak. Pasalnya, dibutuhkan Sembilan kali dari jumlah populasi nyamuk yang ada. "Kalau populasi nyamuk di suatu rumah adalah lima ekor, maka di rumah itu akan disebar nyamuk mandul sembilan kalinya yakni 45 nyamuk. Ini dilakukan agar para pejantan mandul mampu bersaing dengan nyamuk jantan perkasa di lapangan," kata Peneliti Badan Tenaga Nuklir Nasional (Batan), Ali Rahayu.

Dengan Teknik Serangga Mandul (TSM) ini, ujar Ali Rahayu, ratusan telur yang dikeluarkan para nyamuk betina tidak dapat menetas menjadi larva nyamuk. Efek berkurangnya jumlah nyamuk secara signifikan terasa setelah sebulan pelepasan nyamuk mandul. ''Jika beberapa generasi berturut-turut dilepaskan nyamuk jantan mandul dengan patokan dalam setahun dua kali pelepasan, maka populasi nyamuk di lokasi tersebut akan terus menurun sampai angka nol,'' tambahnya (http://www.republika.co.id/berita/nasional/umum/12/09/30/mb52xm-berantas-dbd-lewat-beternak-nyamuk).

Namun memang, pengembangan nyamuk-nyamuk jantan mandul ini prosesnya cukup detail. Bayangkan saja, nyamuk-nyamuk jantan dan betina harus diternakkan agar menghasilkan telur-telur nyamuk jantan mandul. Jika teknik ini berhasil dan permintaan pasar membludak, telur-telur dari nyamuk jantan mandul ini mungkin suatu saat bisa dijual mahal.**

Newspeg:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar