“Jika pengembangan Teknik Serangga Mandul
(TSM) berhasil diterapkan, telur-telur dari nyamuk jantan mandul yang diternakkan
mungkin suatu saat bisa dijual mahal”
Penggunaan obat-obatan anti nyamuk dalam
jangka panjang bisa membuat nyamuk resisten terhadap kandungan senyawa yang
dipakai untuk mengusir mereka. Karena itu pakar epidemiologi Universitas
Indonesia (UI) Tri Y.Wahyono mengimbau masyarakat yang bermaksud mencegah
penularan demam berdarah dengue (DBD) agar berhati-hati menggunakannya.
Haedes dan Aegypta (Oxitec.com) |
Apalagi selain nyamuk menjadi resisten,
krim anti nyamuk juga berbahaya bagi kulit. "Apabila ditinjau dari produk
kimia, krim seperti itu jika dipakai secara terus-menerus (juga) akan
menimbulkan iritasi kulit," kata Tri usai konferensi pers dan diskusi yang
bertajuk "Langkah Pencegahan Demam Berdarah Paling Efektif" di Rumah
Sakit Umum Pusat Fatmawati, Jakarta, Rabu (3/4).
Untuk itu, ia menyarankan agar masyarakat
membaca aturan pakai sebelum menggunakan produk-produk tersebut. Dia juga
meminta pemerintah agar lebih menaruh perhatian pada penggunaan produk-produk
anti nyamuk, khususnya yang dalam bentuk krim (http://www.republika.co.id/berita/gaya-hidup/info-sehat/13/04/04/mkon7s-awas-bahaya-sering-pakai-krim-antinyamuk).
Mengenai
resistensi nyamuk terhadap obat-obatan pembasmi serangga ini, Penelitian dari
London School of Hygiene dan Tropical Medicine mengungkapkan, obat nyamuk yang
banyak digunakan dalam rumah tangga dinilai sudah kehilangan keampuhannya dalam
membasmi nyamuk. Pembasmi serangga hanya efektif untuk penggunaan pertama, setelah
itu nyamuk sudah kebal, sebut penelitian itu.
Zat
N-diethyl-meta toluamide (Deet)
merupakan bahan yang biasa digunakan dalam pembasmi serangga. Bahan itu
digunakan militer AS saat perang di hutan pada Perang Dunia II. Sampai beberapa
tahun, tidak jelas bagaimana zat kimia itu bekerja. Namun, peneliti
mengungkapkan serangga tidak menyukai baunya. Namun, nyamuk-nyamuk kemudian
jadi resisten terhadapnya.
Penelitian
dilakukan pada nyamuk Aedes aegypti yang menjadi penyebar virus DBD, dengan
menggunakan Deet. Dalam percobaan,
nyamuk tidak mau mendekati seseorang yang menggunakan Deet Namun beberapa jam
kemudian, peneliti menemukan deet kehilangan efektivitasnya dan nyamuk kembali
menggigit manusia. "Kami merekam bagaimana respon reseptor di antena
nyamuk pada Deet, ternyata nyamuk tidak lama sensitif terhadap zat kimia,"
ungkap sang peneliti, James Logan, seperti dilansir BBC.
Dalam penelitian baru-baru ini, tim yang sama menemukan perubahan gen dalam nyamuk yang membuat mereka kebal terhadap Deet. Meski demikian, dia menekankan masyarakat di daerah yang berisiko tidak harus menghentikan penggunaan Deet (http://www.republika.co.id/berita/senggang/unik/13/02/21/mijyiv-nyamuk-sudah-kebal-pembasmi-serangga).
Dalam penelitian baru-baru ini, tim yang sama menemukan perubahan gen dalam nyamuk yang membuat mereka kebal terhadap Deet. Meski demikian, dia menekankan masyarakat di daerah yang berisiko tidak harus menghentikan penggunaan Deet (http://www.republika.co.id/berita/senggang/unik/13/02/21/mijyiv-nyamuk-sudah-kebal-pembasmi-serangga).
Lebih
jauh mengenai Deet, penelitian terbaru telah menemukan bahwa masalah kesehatan
dari penggunaan Deet jauh lebih besar daripada efektivitasnya terhadap
serangga. Potensi efek samping zat ini terlalu
berbahaya untuk diabaikan. Pada serangga bahkan mamalia, Deet menjadi racun ke sistem
saraf pusat. Bagaimana dengan manusia?
Deet
yang ditemukan pada 1953, merupakan insektisida kuat yang digunakan di lebih
dari 400 produk obat anti nyamuk. Penelitian di Duke Medical Center di North
Carolina menemukan bahwa paparan Deet dapat merusak otak, menyebabkan masalah
seperti kelemahan otot, kurangnya koordinasi, dan kesulitan pada memori dan
kognisi (http://id.prmob.net/deet/obat-nyamuk/penyakit-lyme-578229.html).
Karena
penyebaran penyakit oleh nyamuk bersifat epidemi, mengingat nyamuk adalah hewan
yang bisa terbang dan terbawa ke mana-mana (misalnya terbawa mobil) maka
pembasmian nyamuk tidak bisa sendiri-sendiri. Karena itulah dalam masa-masa
kehidupan kita, muncul praktik fogging. Akan tetapi, pakar menilai upaya fogging atau
pengasapan untuk memberantas nyamuk bukan cara yang efektif.
Dikatakan
Tri Y. Wahyono, fogging kurang efektif karena dalam penggunaannya cenderung
menyemprot secara massal dan tidak tepat sasaran. ”Fogging bisa dilakukan jika
sudah terjadi Kejadian Luar Biasa (KLB) di suatu wilayah,” ujarnya. Cara yang efektif adalah tetap “3M Plus”
(Menguruk, Menutup, Mengubur), plusnya menggunakan insektisida," kata Tri
saat menyampaikan disertasinya berjudul "Modeling Intervensi Penyakit DBD
di Indonesia" di Depok, Selasa (15/1).
Ia
mengatakan penggunaan insektisida lebih efektif, karena mampu mengurangi
kecenderungan seseorang terkena DBD. Persentasenya hingga 50 persen. Namun begitu,
Tri tetap menekankan bahwa penggunaan insektisida perlu pengawasan yang ketat,
dan dosisnya tidak boleh terlalu banyak karena akan berdampak kepada kesehatan
karena mengandung toxin (racun) (http://www.republika.co.id/berita/nasional/umum/13/01/15/mgnx5u-pakar-fogging-tak-efektif-berantas-nyamuk).
Padahal
sejumlah penelitian di taha air juga sudah menghasilkan cara mengendalikan
gempuran nyamuk penyebab DBD yang sangat alami, dengan mengendalikan perilaku
nyamuk. Cara tersebut adalah dengan mengembangkan Teknik Serangga Mandul (TSM).
Penelitian ini diupayakan setelah
terbukti banyak wilayah yang nyamuknya makin resisten terhadap metode fogging (pengasapan).
TSM telah diujicobakan di tiga wilayah:
Salatiga, Banjarnegara dan Bangka Barat. Hasilnya ternyata mampu menurunkan
populasi vektor (nyamuk pembawa penyakit). Meski dalam hal penurunan kasus DBD,
hal tersebut masih perlu pembuktian lebih lanjut. Untuk menjadi program
nasional, TSM masih membutuhkan pengkajian lebih luas lagi. Misalnya soal
apakah sarana yang dibutuhkan dalam pengembangan TSM bisa diadakan secara masal
(http://www.republika.co.id/berita/nasional/jawa-tengah-diy-nasional/12/09/25/mawj5f-serangga-mandul-ampuh-basmi-nyamuk-demam-berdarah).
Pengembangan secara masal pada TSM
tampaknya tidak bisa tidak. Pasalnya, dibutuhkan Sembilan kali dari jumlah
populasi nyamuk yang ada. "Kalau populasi nyamuk di suatu rumah adalah
lima ekor, maka di rumah itu akan disebar nyamuk mandul sembilan kalinya yakni
45 nyamuk. Ini dilakukan agar para pejantan mandul mampu bersaing dengan nyamuk
jantan perkasa di lapangan," kata Peneliti Badan Tenaga Nuklir Nasional
(Batan), Ali Rahayu.
Dengan
Teknik Serangga Mandul (TSM) ini, ujar Ali Rahayu, ratusan telur yang
dikeluarkan para nyamuk betina tidak dapat menetas menjadi larva nyamuk. Efek
berkurangnya jumlah nyamuk secara signifikan terasa setelah sebulan pelepasan
nyamuk mandul. ''Jika beberapa generasi berturut-turut dilepaskan nyamuk jantan
mandul dengan patokan dalam setahun dua kali pelepasan, maka populasi nyamuk di
lokasi tersebut akan terus menurun sampai angka nol,'' tambahnya (http://www.republika.co.id/berita/nasional/umum/12/09/30/mb52xm-berantas-dbd-lewat-beternak-nyamuk).
Namun memang, pengembangan nyamuk-nyamuk
jantan mandul ini prosesnya cukup detail. Bayangkan saja, nyamuk-nyamuk jantan dan
betina harus diternakkan agar menghasilkan telur-telur nyamuk jantan mandul.
Jika teknik ini berhasil dan permintaan pasar membludak, telur-telur dari
nyamuk jantan mandul ini mungkin suatu saat bisa dijual mahal.**
Newspeg:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar