“Anak-anak meluangkan lebih banyak waktu untuk menonton televisi daripada untuk
kegiatan apa pun, kecuali tidur”
Seorang
bocah perempuan berusia tujuh tahun tewas gantung diri di Riyadh, Arab Saudi.
Pihak polisi menduga, anak ini mencoba meniru adegan dalam film yang
ditontonnya. Sabq Arabic Language Daily
melaporkan, seperti diberitakan Republika Online, Sabtu (13/4), bocah bernama Haifa Al Otaibi itu ditemukan sudah tak
bernyawa oleh ibunya dalam posisi tergantung di dalam kamarnya.
Cabletv.com |
Haifa
tinggal di pusat Kota Al Dawaimi yang terletak dekat dengan Ibu Kota, Riyadh.
Kabar itu menjadi peringatan kepada orang tua agar tidak mudah memberikan izin
kepada anak-anaknya menonton film yang memiliki adegan berbahaya dan mudah
ditiru anak-anak (http://www.republika.co.id/berita/internasional/timur-tengah/13/04/13/ml6oo4-tiru-adegan-film-bocah-tujuh-tahun-tewas-gantung-diri).
Di
tanah air, kasus semacam ini pun acapkali terjadi. Tahun 2009, Heri Setyawan
(12) ditemukan tewas tegantung di ranjangnya yang bertingkat. Pihak kepolisian
Jakarta Pusat, setelah memeriksa sejumlah saksi, menyatakan, kasus ini murni
kecelakaan yang dilakukan oleh anak tiu sendiri.
Dari hasil keterangan orangtua korban dan
saksi lainnya, diketahui bahwa korban gemar meniru aksi seorang pesulap di televisi.
"Setiap selesai acara Limbad The
Master, dia akan mempraktikkan adegan itu dengan mengikat kaki dan
tangannya" ujar Kapolres Jakarta Pusat ketika itu, Komisaris Besar
Hamidin. Malah korban juga sempat menusuk tangannya dengan sejumlah jarum,
kemudian dipertontonkan kepada orang tua dan teman-temannya.
Teman-teman korban juga mengatakan bahwa
korban sering menirukan atraksi sulap di sekolah.Orangtuanya sering marah dan
menegur kebiasaan anaknya itu. Namun korban tetap melakukan aktraksi tersebut saat
orangtuanya pergi. Saat kejadian orangtua korban tidak ada di rumah karena
sedang berjualan di pasar (http://metro.news.viva.co.id/news/read/114072-bocah_itu_tewas_karena_tiru_atraksi__limbad_).
Limbad sendiri menolak dianggap sebagai
penyebab kematian bocah tersebut. Pemilik gelar profesor, doktor, dan sarjana hukum
ini, mengatakan, orangtuanya lah yang patut disalahkan. “Yang anak itu lakukan
adalah mengingat lehernya dengan tali. Saya sama sekali tidak pernah memainkan
permainan itu,” ujar pria asal Pekalongan ini. Nama Limbad mulai dikenal usai mengikuti
ajang sulap The Master di stasiun televise
RCTI. Dia memiliki ciri khas berpakaian
hitam-hitam, dengan rambut dan janggut panjang menyeramkan, dan bersikap bak
orang bisu.
Sekretaris Jenderal Komnas PA (Komisi Nasional
Perlindungan Anak), Arist Merdeka Sirait, telah meminta pihak Komisi Penyiaran
Indonesia (KPI) agar menghentikan tayangan-tayangan yang mengandung kekerasan. “Bukan
hanya sulap Limbad, melainkan semua tayangan kekerasan agar dihentikan,”
ujarnya.
Arist mengungkapkan, anak akan meniru dan
merasakan apa yang ia lihat dalam tayangan televisi. Contoh kasus yang
pernah terjadi ketika tayangan “Smack Down” tengah diputar di salah satu
televisi swasta, sebanyak 32 anak jadi korban karena meniru adegan itu. “Sekarang
ada adegan kekerasan Limbad dan kembali makan korban,” ujarnya. Hal ini kata
Aris juga berlaku pada kasus perkosaan karena menonton tayangan-tayangan
remaja.
Komnas PA menyebutkan, berdasarkan
penelitian 2006-2009, terungkap sebanyak 68 persen tayangan di 13 stasiun televisi,
yang menjurus pada tayangan produksi lokal, mayoritas mengandung kekerasan (http://www.untukku.com/berita-untukku/kasus-anak-bunuh-diri-lihat-tayangan-master-limbad-untukku.html).
Setiap hari berbagai stasiun televisi
menanyangkan film dan sinetron yang penuh dengan adegan kekerasan dan mistik,
juga liputan bencana alam, kerusuhan, aksi teroris, penculikan, kriminalitas,
atau kejahatan mengerikan yang ditonton oleh keluarga termasuk anak-anak. Yayasan
Kesejahteraan Anak Indonesia mencatat, rata-rata anak usia sekolah dasar
menonton televisi antara 30-35 jam setiap minggu.
Artinya pada hari-hari biasa mereka
menonton tayangan televisi lebih dari 4-5 jam sehari. Sementara di hari Minggu
bisa 7-8 jam. Jika rata-rata empat jam sehari, berarti setahun sekitar 1.400
jam, atau 18.000 jam sampai seorang anak lulus SLTA. Padahal waktu yang
dilewatkan anak-anak mulai dari TK sampai SLTA hanya 13.000 jam. Ini berarti
anak-anak meluangkan lebih banyak waktu untuk menonton televisi daripada untuk
kegiatan apa pun, kecuali tidur.
Lebih
parah lagi, kebanyakan orangtua tidak menyadari dampak kebebasan media yang
kurang baik terhadap anak-anak. Indikasi demikian terlihat dari tidak
diawasinya anak-anak dengan baik saat menonton televisi meski di layar
diterakan kata-kata dengan bimbingan orangtua (BO), dewasa (DW) dan remaja (R).
Hasil penelitian menyimpulkan, sebagai
media audio visual, televisi mampu merebut 94 persen saluran masuknya
pesan-pesan atau informasi ke dalam jiwa manusia yaitu lewat mata dan telinga. TV
mampu membuat orang pada umumnya mengingat 50 persen dari apa yang mereka lihat
dan dengar di layar, walaupun hanya sekali ditayangkan.
Pada anak-anak yang umumnya selalu meniru
apa yang mereka lihat, tidak tertutup kemungkinan perilaku dan sikap mereka
akan meniru kekerasan yang ditayangkan di televisi yang mereka tonton. Tampaknya
pesan yang disampaikan Dewan Media Anak-anak Australia (ACCM) patut dicontoh: matikan
televisi yang menayangkan berita kekerasan/bencana secara terus menerus.
Dewan itu mengingatkan para orang tua
bahwa anak-anak dapat menjadi sangat cemas dan tertekan jika berulang kali
menonton cuplikan dramatis yang ditampilkan di televisi. Menurut Rita Princi,
psikolog anak dan anggota ACCM, anak-anak terutama di bawah usia 10 tahun,
sangat rentan terhadap rekaman yang mereka lihat dan cerita yang mereka dengar.
"Sehubungan dengan tayangan tentang bencana alam yang banyak terjadi,
dapat dimengerti bahwa anak-anak mulai merasa tidak aman. Sudah saatnya bagi
orangtua untuk mematikan televisi untuk anak-anak," katanya (http://oase.kompas.com/read/2012/05/28/22490165/Anakanak.Cenderung.Meniru.Adegan.di.Televisi).
Newspeg:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar