Kasus kekerasan atau pelecehan seksual terhadap anak-anak di tanah air semakin
meresahkan. Kasus
kekerasan seksual ini banyak terjadi di lingkungan terdekat anak, yakni rumah
dan sekolah, bahkan dilakukan oleh orang yang sedarah seperti ayah kandung atau
paman. Tidak berlebihan jika kondisi ini sudah masuk status darurat nasional.
ROL |
Ketua Komnas PA,
Arist Merdeka Sirait, saat dihubungi
Republika, Rabu (17/4), mengatakan, ancaman kekerasan seksual terhadap
anak jumlahnya meningkat dari tahun ke tahun. Dalam tiga tahun terakhir, 38-43
persen kasus kekerasan seksual itu lokusnya berada di institusi pendidikan dan
melibatkan guru. Bukan hanya guru reguler, tapi juga guru spiritual. "Tidak berlebihan jika kondisi ini sudah masuk status darurat nasional," ujarnya.
Berdasarkan data Komnas PA, ada 2046
kasus kekerasan pada anak pada 2010 dan 42 persennya terkait pelecehan seksual.
Jumlahnya meningkat pada tahun berikutnya menjadi 58 persen dari 2509 kasus. Pada
2012 tercatat ada 62 persen kasus sejenis dari total 2637 kekerasan terhadap
anak. Sedangkan pada tiga bulan pertama tahun ini, Arist mengatakan ada 87
kasus kekerasan seksual pada anak dari total 127 pengaduan yang masuk ke Komnas
PA (http://www.republika.co.id/berita/nasional/umum/13/04/17/mlera0-indonesia-darurat-kekerasan-seksual-anak).
Awal
tahun 2013, kita sudah dikejutkan kasus tragis yang menimpa RI (11 tahun). Dia
meninggal setelah sepekan kritis di RS Persahabatan. Meski dia meninggal karena
radang otak, dokter memastikan ada luka lama di organ kelaminnya yang
menyebabkan kerusakan karena infeksi. "Saya mendengar dari tim dokter
bahwa ada luka yang bukan baru di sekitar alat vital korban, dan vaginanya
rusak diduga infeksi. Mungkin inilah yang membuat korban tidak tertolong
lagi," kata Arist.
Belakangan
diketahui semua kerusakan di alat kelamin RI adalah akibat perbuatan ayahnya
sendiri. Sayangnya, polisi kesulitan menjerat ayah RI. "Ada beberapa
kendala yang dihadapi penyidik, di antaranya karena korban sendiri sudah
meninggal sebelum dapat diambil keterangannya," kata Kabid Humas Polda
Metro Jaya Kombes (Pol) Rikwanto.
Modus
kasus kekerasan seksual pada anak lainnya misalnya, ZC, bocah berusia sembilan
tahun, dua pekan lalu melaporkan telah diperkosa ayah tirinya ke Komnas PA.
Sementara RR (7) diduga dicabuli oleh RA (17) Desember 2012. Selain itu, PD
(18), belum lama ini mendatangi Polres Jakarta Timur untuk melaporkan perbuatan
ayahnya, DP (42). Kepada penyidik, PD mengungkapkan sudah diperkosa ayahnya
sendiri sejak berusia 13 tahun.
Menurut
Arist, tingginya angka kasus mencerminkan buruknya situasi perlindungan anak di
Indonesia. Itu pun, duga dia, angka sesungguhnya di lapangan masih jauh lebih
besar. "Puncaknya gunung esnya saja belum tampak karena tingginya kasus
kekerasan pada anak sampai sekarang tetap tak terlihat."
Menteri Pemberdayaan Perempuan dan
Perlindungan Anak, Linda Gumelar, menyoroti UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak. UU itu dinilainya tidak efektif diterapkan untuk menjerat
para pelaku tindak kekerasan pada anak. "Hukuman maksimal pada pelaku
jarang diberikan," ujarnya.
Sulitnya membawa pelaku kekerasan seksual
ke meja hijau diduga karena "otoritas sosial" para pelaku lebih
tinggi daripada korban. Psikolog Polda Metro Jaya, Ajun Komisaris Besar Besar
Nur Cahyo, mengatakan, pelakunya bisa guru, ayah, atau kakak tiri. “Karenanya, korban
memilih diam."
Komisioner Komnas Perempuan, Herawati,
menambahkan, pelaku yang sedarah semakin membuat korban kehilangan keberanian
menyampaikan apa yang dia alami. Lemahnya sistem perundangan, kian memperburuk
keadaan. "Keterangan korban di bawah umur tidak diakui dalam sistem
perundangan kita." Sementara itu, psikolog klinis, Lia Latief Sutisna,
mengatakan, kekhawatiran bakal tidak dipercaya diduga menjadi kendala
pengungkapan kasus kekerasan seksual dengan pelaku sedarah. "Butuh waktu
terapi lebih panjang agar korban mau mengungkap apa yang ia alami," kata
Lia (http://nasional.kompas.com/read/2013/03/15/02540245/Waspadalah.Tren.Kekerasan.Seksual.pada.Anak.Meningkat).
Patricia A Moran dalam buku Slayer of the Soul, 1991, mengatakan, menurut
riset, korban pelecehan seksual adalah anak laki-laki dan perempuan berusia
bayi sampai usia 18 tahun. Kebanyakan pelakunya adalah orang yang mereka kenal
dan percaya. Gejala seorang anak yang mengalami pelecehan seksual tidak selalu
jelas. Ada anak-anak yang menyimpan rahasia pelecehan seksual yang dialaminya
dengan bersikap manis dan patuh, berusaha agar tidak menjadi pusat perhatian.
Meskipun pelecehan seksual terhadap anak
tidak memperlihatkan bukti mutlak, tetapi jika tanda-tanda di bawah ini tampak
pada anak dan terlihat terus-menerus dalam jangka waktu panjang, kiranya perlu
segera mempertimbangkan kemungkinan anak telah mengalami pelecehan seksual. Pada
balita, tanda-tanda fisiknya bisa memar pada alat kelamin atau mulut, iritasi
kencing, penyakit kelamin. Sakit kerongkongan tanpa penyebab, jelas bisa
merupakan indikasi seks oral.
Selain itu, korban sangat takut kepada
siapa saja atau pada tempat tertentu atau orang tertentu. Terjadi perubahan
kelakuan yang tiba-tiba. Mengalami gangguan tidur (susah tidur, mimpi buruk,
dan ngompol). Korban juga akan menarik diri atau depresi, serta perkembangannya
terhambat.
Tanda lainnya yang perlu dicurigai
adalah: berperilaku regresif seperti mengisap jempol, hiperaktif, keluhan
somatik seperti sakit kepala yang terus-menerus, sakit perut, sembelit. Korban juga
akan memperlihatkan perilaku yang tiba-tiba berubah, selalu mengeluh sakit.
Tanda lainnya, korban akan melakukan masturbasi berlebihan, mencium secara
seksual, mendesakkan tubuh, melakukan aktivitas seksual terang-terangan pada
saudara atau teman sebaya, tahu banyak tentang aktivitas seksual, dan rasa
ingin tahu berlebihan tentang masalah seksual.
Pada anak usia sekolah, bisa dilihat dari
kemampuan belajar yang berubah seperti susah konsentrasi, nilai turun, telat
atau bolos, hubungan dengan teman terganggu, tidak percaya kepada orang dewasa,
depresi, menarik diri, sedih, lesu, gangguan tidur, mimpi buruk, tak suka
disentuh, serta menghindari hal-hal sekitar buka pakaian (http://doktersehat.com/ketika-anak-mengalami-pelecehan-seksual/).
Ada beberapa cara yang bisa dilakukan
agar buah hati terhindar dari pelecehan:
1. Tidak ada rahasia: ajarkan si
kecil untuk selalu terbuka dalam menyampaikan perasaannya. Buat dia selalu
bercerita perasaannya baik saat senang, sedih, takut dan gembira. Hal ini
membuatnya tidak akan merahasiakan hal sekecil apapun dari Anda, termasuk
perlakuan yang diterimanya dari orang sekelilingnya. Dengan begitu Anda tahu
siapa saja yang ia temui dan dekat dengannya.
2. Hindari memakaikan aksesori yang
terdapat nama si anak, terutama saat ia bermain di taman atau tempat bermain.
Karena bisa saja ada orang “tidak jelas” yang memanggil namanya, dan si anak
menganggap orang tersebut mengenalnya.
3. Ajarkan sedini mungkin fungsi dan nama
dari setiap organ tubuhnya termasuk organ vitalnya. Tidak masalah jika ia
menyebut vagina, penis, atau payudara, karena memang itulah namanya. Katakan
pada anak bahwa organ intim harus dijaga, tidak boleh dipegang sembarang orang.
Jika ada yang memegangnya, ajarkan agar
ia berteriak dan lari sekencang-kencangnya.
4. Jika anak sudah cukup umur, buatlah
cerita dengan awalan pertanyaan "bagaimana jika". Misalnya, "Bagaiman
jika ada orang dewasa yang kamu tidak kenal memberikan permen.” Jika jawabannya
ia akan menerima permen dan akan bermain bersamanya, katakan bahwa itu
berbahaya (http://www.metro.polri.go.id/trips-a-trik/850-tips-anak-terhindar-dari-pelecehan-seksual).
Sementara itu, Ketua Lembaga Perlindungan
Saksi dan Korban (LPSK), Abdul Haris Semendawai, mengatakan, program one stop service untuk korban kekerasan
seksual anak perlu digagas.
Hal ini untuk memudahkan akses keadilan dan jaminan perlindungan terhadap anak
korban kekerasan seksual terutama di daerah. Namun kata dia, kendati LPSK masih berada di tingkat
pusat (Jakarta), pihaknya berharap, melalui kegiatan sosialisasi LPSK di daerah-daerah, akan tercipta
sinergitas antara LPSK dengan aparat penegak hukum di daerah.
Dikatakan dia, saksi dan korban akan mendapat
pelayanan cuma-cuma dari LPSK, seperti telah diatur dalam
ketentuan UU No.13/2006, tentang Perlindungan Saksi
dan Korban. Bentuk layanan tersebut, lanjut Semendawai, berupa perlindungan fisik (pengamanan, pengawalan dan
penempatan di rumah aman), pemulihan medis psikologis, dan pendampingan
terhadap korban dalam proses hukum.
"Semua ditanggung oleh
APBN, sehingga diharapkan korban dan aparat penegak hukum di daerah dapat
memanfaatkannya semaksimal mungkin," ungkap Ketua LPSK. Sosialisasi LPSK di daerah dilakukan karena minimnya
ketersediaan akses layanan medis dan psikologis bagi korban kekerasan seksual
anak, sehingga sering korban tak
terselamatkan (http://www.lpsk.go.id/page/515c6828756e4).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar