“Karena
itu, ia mengajak masyarakat AS menolak seruan Obama terkait kolektivisme yang
berbau Indonesia”
Pesan
politik “Nasionalisme Baru” yang diusung Presiden Amerika Serikat (AS), Barack
Obama, diduga terinspirasi Pancasila. Politisi Partai Republik, Michael Patrick
Leahy, mengatakan, ada inti pesan Obama dalam pidatonya yang sangat mirip
dengan pidato Presiden pertama Indonesia, Soekarno, tentang Pancasila. Leahy
melihat, latar belakang Indonesia berperan penting dalam membentuk visi
internasionalisme Barack Obama.
Pidato legendaris Bung Karno |
Seperti dimuat dalam laman AmericanThinker, dengan
lugas Leahy mengutip sejarah Soekarno alias Bung Karno yang mengusung Pancasila
dalam rapat 1 Juni 1945. Di depan peserta sidang rapat, kata Leahy, Bung Karno
menjabarkan prinsip dasar Indonesia yaitu: Ketuhanan yang Maha Esa, Kemanusiaan
yang Adil dan Beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang dipimpin oleh
Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan, dan Keadilan Sosial Bagi
Seluruh rakyat Indonesia.
Menurut Leahy, ada bagian di pidato Obama yang menggaungkan Nasionalisme Baru AS yang sangat mirip dengan sila kelima yaitu Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Leahy berargumen, ini bisa dimengerti karena Obama pernah bersekolah di Indonesia, dan berkenalan dengan nilai-nilai Pancasila.
Menurut Leahy, ada bagian di pidato Obama yang menggaungkan Nasionalisme Baru AS yang sangat mirip dengan sila kelima yaitu Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Leahy berargumen, ini bisa dimengerti karena Obama pernah bersekolah di Indonesia, dan berkenalan dengan nilai-nilai Pancasila.
Ia
lalu membandingkan pidato Soekarno itu dengan pidato Obama di Osawatomie. Leahy
menulis, pada 1 Juni Soekarno mengatakan, "...Dalam sila Keadilan Sosial jangan ada lagi kemiskinan di Indonesia
yang merdeka. Apakah rakyat Indonesia ingin Indonesia yang merdeka tapi
kelompok kapitalisme juga merajalela? Atau sebaliknya, kesejahteraan untuk
seluruh rakyat, dimana tiap orang bisa makan dengan cukup."
Sementara
bagian pidato Obama di Osawatomie yang dikutip Leahy: "... Mereka (kaum Republik) ingin kembali ke
filosofi usang yang tidak memihak ke kelompok kelas menengah AS bertahun-tahun ini.
Filosofi mereka sederhana, kita dianggap akan sejahtera kalau semua orang
dibebaskan untuk bermain dengan aturannya sendiri-sendiri. Well, saya di sini mengatakan mereka salah! Saya di
sini menegaskanbahwa rakyat AS akan jauh lebih besar kalau bersama-sama
ketimbang sendiri-sendiri. Saya percaya AS akan berjaya kalau semua masyarakat
mendapat kesempatan yang sama, ketika semua orang mendapat bagian yang adil,
dan semua orang bermain di dalam aturan yang disetujui bersama."
Menurut
Leahy, bagian pidato Obama ini sangat terasa merefleksikan nilai-nilai
Indonesia ketimbang AS. "AS selalu menjunjung tinggi nilai individualisme
di atas kolektivisme. Sementara Indonesia sebaliknya. Pidato Obama ini adalah
sanjungan untuk kolektivisme Indonesia dan penolakan kepada individualisme
AS," kata Leahy (http://www.republika.co.id/berita/internasional/global/13/04/14/ml8hy2-sila-kelima-pancasila-dikutip-obama).
Karena itu, Leahy mengkhawatirkan Obama
akan menyeret AS ke dalam kondisi seperti Indonesia. "Obama sepertinya
ingin membawa AS ke dalam situasi seperti Indonesia yang korup, oligarki,
kroni-isme," kata Leahy. Obama, kata Leahy, terbawa nilai Pancasila karena
sempat bersekolah di Indonesia, yakni di masa gencar-gencarnya Soeharto mendoktrinasi
siswa sekolah di seluruh negeri dengan filosofi Pancasila. Leahy yakin sebagai
siswa SD di Menteng, Jakarta, Obama pasti tidak luput dari indoktrinasi Pancasila.
Karena itu, duga Leahy, Obama ingin
mengubah prinsip kebebasan individual AS dengan prinsip Pancasila. Leahy
menganggap sila Keadilan Sosial sebagai “janji yang kabur”. Karena itu, ia
mengajak masyarakat AS menolak seruan Obama terkait kolektivisme yang berbau
Indonesia.
Di bagian lain, Leahy menjelaskan dengan
mengutip sejarah hidup Obama yang sudah terkenal itu. Ibu Obama, Stanley Ann
Dunham, sebut Leahy, menikahi Lolo Soetoro, mahasiswa Indonesia yang sedang
belajar di Universitas Hawai East-West pada Maret 1965. Sebelumnya, Ann Dunham
sudah bercerai dengan Barack Obama Sr, ayah kandung Presiden Obama.
Usia 3-10, Obama hidup di Jakarta. Ayah
tirinya, kata Leahy, termasuk dalam lingkaran elit Indonesia-Jawa ketika itu.
Leahy mendapat data bahwa ibu Lolo Soetoro bersaudara dengan Sri Sultan
Hamengkubuwono IX. "Sultan ketika itu adalah sosok sipil yang
pengaruhnya besar. Ia pernah menjadi menteri luar negeri di masa Soekarno, dan wakil
presiden Soeharto," kata Leahy.
Adik tiri Obama, Maya Soetoro-Ng, juga
sudah memublikasikan bahwa neneknya memang keturunan darah biru Yogyakarta.
Leahy mempertegas pernyataan Maya dengan mewawancarai dosen antropologi
Universitas Hawai, Alice Dewey, yang juga teman dekat Ann Dunham. Dari hasil
wawancara itu diketahui bahwa Ann Dunham pernah membawa Maya tinggal di
lingkungan keraton Yogyakarta selama setahun. Mereka tinggal di kawasan yang
khusus untuk keluarga kesultanan (http://www.republika.co.id/berita/internasional/global/13/04/14/ml8pf5-leahy-obama-ingin-bawa-as-jadi-korup-seperti-indonesia).
Sang ibu yang
banyak memberi perhatian kepada kaum lemah, tampaknya memang turut memengaruhi
gaya kepemimpinan Obama. Purbayu Budi Santosa, guru besar Fakultas Ekonomika dan
Bisnis Universitas Diponegoro (Undip), kontributor buku “Ann Dunham dalam
Kenangan” (2009), menulis, Obama
tinggal di Indonesia sekitar 5 tahun karena sang bunda, yang bernama lengkap
Stanley Ann Dunham, menikah dengan Lolo Soetoro, pemuda Indonesia pada 1967.
Ann Dunham lahir di Forth Leavenworth,
Kansas, pada 29 November 1942. Dia putri tunggal pasangan Stanley Amour Dunham
dan Madelyn Lee Payne. Sang ayah menamai Stanley, nama laki-laki, karena begitu
menginginkan anak laki-laki. Sebagai ras kulit putih, Ann boleh dibilang telah menentang
arus utama masyarakat AS pada masa lalu yang memandang ras kulit putih lebih
unggul. Dia mengawini Barack Hussein Obama Senior, asal Kenya, yang berkulit
hitam, dan menikah lagi dengan pemuda Indonesia yang juga berkulit berwarna.
Sebagian besar waktu Aan dihabiskan di
Indonesia. Gelar PhD dari Departemen Antropologi Universitas Hawaii pada
Agustus 1992, diraihnya dengan memilih disertasi bertopik ’’Kerajinan Pandai
Besi Petani di Indonesia: Bertahan dan Berkembang di Tengah Segala Kesulitan’’
(’’Peasant Blacksmithing in Indonesia: Surviving and Thriving Against All
Odds’’).
Ann menguasai bahasa Indonesia secara
fasih. Dia menulis beberapa artikel jurnal dalam bahasa Indonesia, dan memberi
kuliah di berbagai universitas di Indonesia. Bahasa Jawa-nya tidak sempurna,
namun cukup memadai untuk berkomunikasi
dengan warga di perdesaan. Obama dalam memoarnya menuliskan, dia banyak belajar
dari sang ibu yang terkenal disiplin dan penuh perhatian kepada sesama,
terutama kaum pinggiran. (http://www.suaramerdeka.com/v1/index.php/read/cetak/2012/11/13/205271/Obama-dan-Pengaruh-Bunda).
Ihwal Obama yang mulai berpikir ala sila ke-5
Pancasila ini tersirat dari pernyataan
Menteri Perdagangan, Gita Wirjawan. Pengamat politik, Christianto Wibisono, November 2012 lalu, menulis: Gita Wirjawan dalam reaksi singkatnya menyatakan, Indonesia sekarang ini harus siap menghadapi penciutan ekonomi AS yang akan lebih memprioritaskan masalah domestik.
Menteri Perdagangan, Gita Wirjawan. Pengamat politik, Christianto Wibisono, November 2012 lalu, menulis: Gita Wirjawan dalam reaksi singkatnya menyatakan, Indonesia sekarang ini harus siap menghadapi penciutan ekonomi AS yang akan lebih memprioritaskan masalah domestik.
Dengan
kemenangannya (sebagai presiden AS untuk kedua kalinya) ini, tulis Christianto,
Obama akan melanjutkan politik pemerataan yang berisiko menciutkan ekonomi AS.
Menciut karena masyarakat akan disedot pajaknya secara lebih intensif, terutama
untuk golongan menengah ke atas. Ekonomi “Robin Hood” yang dipraktikkan
Demokrat pasti akan semakin membawa postur ekonomi AS lemah dan tidak menguat (http://strategi-militer.blogspot.com/2012/11/obama-jilid-ii-dan-pengaruhnya-terhadap.html).
Pengamat hubungan internasional dari
Universitas Indonesia, Makmur Keliat, juga menyiratkan hal senada mengenai
konsep ekonomi pemerataan-nya Obama.
Makmur mengatakan, Obama
cenderung memiliki keberpihakan terhadap kelas menengah ke bawah. Karena itu, dalam kondisi negara ini sedang
mengalami defisit anggaran hingga sembilan persen, penyelesaiannya kemungkinan
dengan peningkatan pajak bagi kelas atas termasuk bagi para investor, dan mengurangi pengeluaran negara.
Sementara itu Obama dinilai juga akan
mengurangi pengeluaran AS dengan menekan permintaan impor dari negara lain
khususnya dari China. Dampaknya China akan mengalami penurunan ekspor dan
berimbas pada pengurangan permintaan impor negeri tirai bambu itu terhadap
Indonesia (http://www.antaranews.com/berita/342449/pengamat-kemenangan-obama-kemungkinan-turunkan-ekspor-indonesia).
Di tengah AS yang tengah mengencangkan
ikat pinggangnya ini, Christianto berpendapat, seharusnya Indonesia bisa mengambil
peran. Dikatakannya, sejak tragedi 11 September, anggaran AS terkuras Rp 1
triliun setiap tahunnya untuk memerang terorisme. Padahal AS sedang berfokus
pada perbaikan ekonomi domestik.
Maka
di era perang teror dan konflik peradaban ini, sebut Christianto, AS dan Obama
justru akan membutuhkan Indonesia sebagai penengah konflik di Timur Tengah
maupun mengawal perdamaian di Laut China Selatan.
Dengan
modal geopolitik sebagai the largest
Moslem Democracy yang setara dengan AS sebagai the largest Western Democracy, sebut Christianto, seharusnya
Indonesia secara proaktif menerjemahkan Pancasila untuk menciptakan perdamaian
dunia. Jika ini tidak dimanfaatkan, tulis Christianto, maka tidak ada gunanya
nostalgia Barry si murid SD Besuki menjadi Presiden AS (http://strategi-militer.blogspot.com/2012/11/obama-jilid-ii-dan-pengaruhnya-terhadap.html).
Newspeg:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar