Rencana
pemerintah untuk kembali menaikkan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) menuai protes
keras dari berbagai elemen masyarakat, terutama mahasiswa. Tiga mahasiswa yang
menolak kenaikan harga BBM hingga kini masih bertahan dengan melakukan aksi
mogok makan dan jahit mulut.
Aksi dilakukan di kawasan Jalan Pangeran Diponegoro, Jakarta
pusat, Selasa (23/4) (http://www.republika.co.id/berita/video/berita/13/04/24/mlqt0o-tolak-kenaikan-bbm-tiga-mahasiswa-jahit-mulut). Alih-alih tak akan menaikkan harga BBM, kini pemerintah malah sedang sibuk mengkaji penerapan dua harga.
ROL |
Pemerintah tampaknya memang sudah tak mau
menanggung beban subsidi BBM tahun ini. Kenaikan harga BBM sepertinya tinggal
menunggu waktu. Wacana menerapkan dua harga masih sedang digodok. Opsi tersebut adalah: Rp 4.500 per liter untuk angkutan
umum dan sepeda motor, sedangkan mobil pribadi baik premium maupun solar, Rp
6.500 per liter. Dengan sistem ini, pemerintah mengklaim mampu menghemat anggaran
sebesar Rp 20,9 triliun (http://www.merdeka.com/uang/hatta-rencana-dua-harga-bbm-masih-sesuai-jadwal.html).
Dengan kondisi kesejahteraan masyarakat
yang masih parah seperti Indonesia, sementara di sisi lain korupsi merajalela, siapa
tak kesal dengan rencana kenaikan demi kenaikan tarif di Indonesia. Setelah
elpiji 12 kilogram tarifnya naik, lalu PLN (perusahaan listrik negara) juga
berniat menaikan tarif, sekarang masyarakat dibebani bakal naiknya harga BBM, yang tentunya akan merembet ke naiknya harga-harga barang
produksi. Tapi, mengapa harus berunjuk rasa dengan menjahit mulut?
Keheranan seorang blogger lewat akun deyacahyadp.blogspot.com ini mungkin bisa
mewakili perasaan sebagian besar kita menganai aksi jahit mulut ini. Ketika menanggapi
aksi jahit mulut menentang pengembangan hutan tanaman indutri di Riau, blogger
ini mengatakan bahwa solidaritas mereka mengagumkan.
Tapi, "Kok mau-mau nya sih sampai
aksi nekat jahit mulut?" Memangnya, kata si blogger, dengan melakukan aksi
jahit mulut bisa membuat pemerintah peduli dan bakal melaksanakan protes
kalian? Apakah dengan kaya gitu bikin kalian bahagia? Apakah dengan kaya gitu
bikin keluarga kalian bahagia? (http://deyacahyadp.blogspot.com/2011/12/jahit-mulut-what-nekat-things-ever-on.html).
Akun Twitter @officialYubin, juga menyatakan keheranannya, “ Kenapa harus
menyakiti diri sendiri gitu? Unjuk rasa mah unjuk rasa aja. Knp pake jahit
mulut segala? Mahasiswa bodoh.” (https://twitter.com/officialYubin/statuses/324823641441325056).
Tia Subekti, seorang blogger,
berpendapat, aksi jahit mulut merupakan tindakan ekstrim karena menganggap
tuntutannya sudah sangat penting dan tidak bisa hanya dilakukan dengan unjuk
rasa biasa-biasa. Mereka sudah enggan berteriak-teriak untuk mengungkapkan
keinginannya, kalau apa yang mereka teriakkan tidak didengar. Sementara dengan
menjahit mulut dan diam, sudah sangat bisa menarik perhatian pemerintah (lewat
pemberitaan media). (http://politik.kompasiana.com/2013/03/12/aksi-jahit-mulut-sebagai-media-komunikasi-536423.html).
Blogger
lainnya mengatakan, seyogyanya seorang pendemo akan bicara dengan lantang apa
yang menjadi kehendaknya berdasarkan bukti-bukti dan kenyataan yang dialami
pendemo dengan tujuan, apa yang menjadi tuntutan mereka dipenuhi. Tetapi dengan
aksi jahit mulut ini, seakan mereka terkesan “enggan bicara”, yah mungkin
mereka berharap dengan aksi yang “ekstrim” tersebut akan menarik perhatian oleh
kalangan tertentu, khususnya mereka yang bersangkutan dan mempunyai wewenang
dalam menindak lanjutinya.
Jikapun tuntutan ditindaklanjuti setelah
menimbulkan korban, kata blogger ini, bisa disimpulkan bahwa para pendemo dengan
aksi jahit mulut tersebut hanya berharap belas kasihan dari pihak tertentu
untuk menyetujui dan melaksanakan apa yang mereka tuntutkan, bukan dikarenakan
murni karena kepandaian diplomasi para pendemo (http://lifestyle.kompasiana.com/urban/2011/12/22/aksi-jahit-mulut-berharap-belas-kasihan-424460.html).
Aksi
jahit mulut sejak beberapa tahun terakhir agaknya menjadi pilihan pengunjuk
rasa karena dialog selalu berakhir
dengan kekuatan argumentasi basa-basi. Karenanya para pengunjuk rasa melawan sekaligus membuktikan--termasuk kepada
dirinya sendiri--bahwa bukan hanya pikiran dan akal mereka, jasad mereka secara
fisik juga ikut berdemo, dan ikut menunjukkan beban derita atas persoalan yang
dialami.
Jadi,
jahit mulut hanya simbolisasi atas sikap tidak peduli, bahkan abai terhadap
penderitaaan dan persoalan mereka. Mereka memilih jahit mulut sebagai pilihan
akhir setelah kata-kata seperti membentur kaca. Sejarah demo negeri ini mencatat sejumlah aksi
lainnya, seperti aksi cap jempol berdarah, lalu membawa kerbau di tengah-tengah
demo, dan sebagainya. Kadang, meski tanpa orasi, bahasa simbol seperti itu
mengena, dan membuat sasaran demo akhirnya memberi respon. Apalagi jika para
pendemo sudah sampai harus dibawa ke
rumah sakit.
Merespon
demo, seironis apapun, hemat kami tidak akan memosisikan pihak yang didemo
menjadi kalah, atau dikalahkan. Sebaliknya, mendiamkan demo yang paling tidak
bersuara, sejatinya justru menggambarkan kekalahan itu. Setidaknya kekalahan
akal sehat (http://jambi.tribunnews.com/2012/10/03/jahit-mulut).
Jenis-jenis
demo yang dilakukan mahasiswa dapat diklasifikasikan dalam tiga jenis, yakni
unjuk rasa dengan cara persuasif atau damai yang disebut petisi atau
slogan; unjuk rasa nonkooperatif dengan membuat suasana kacau (chaos), disebut embargo atau boikot;
unjuk rasa yang bersifat intervensi tanpa kekerasan, disebut mogok, atau
membuat peraturan, atau lembaga tandingan (dikutip dan diedit dari: http://www.pustakasekolah.com/pengertian-demonstrasi-cara-berunjuk-rasa.html).
Aksi
jahit mulut, pastinya termasuk yang ketiga. Jika dilihat dari sisi ini, mungkin
unjuk rasa jahit mulut, meskipun dilakukannya oleh individu-individu yang
jumlahnya tak masal, justru lebih terkesan tidak egois, karena tidak membuat
susah banyak orang. Lain jika mengambil bentuk yang kedua, yang menimbulkan kekacauan
dan aksi-aksi anarkis yang merusak. Namun begitu, menjahit mulut bagaimana pun
di mata banyak masyarakat tetap terseksan pilihan yang kurang bijak. **
Newspeg:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar