3/20/2013

Giliran "Variety" Tumbang: Kiamat Media Cetak Berlanjut?



"Penutupan edisi cetak ini mengakhiri perjalanan 80 tahun majalah yang dikenal sebagai “kitab suci” bagi industri hiburan AS ini"

Menyusul bangkrutnya majalah Newsweek edisi cetak akhir 2012 lalu, Variety, majalah harian yang cukup bergengsi di Hollywood, terbit untuk terakhir kalinya 19 Maret 2013 lalu. Penutupan edisi cetak ini mengakhiri perjalanan 80 tahun majalah yang sudah lama dikenal sebagai “kitab suci” bagi industri hiburan AS ini.
"kitab suci" industri hiburan ini pun tumbang!

Variety lalu mengisyaratkan pembacanya untuk beralih ke edisi dotcom (http://www.republika.co.id/berita/internasional/global/13/03/20/mjy0sj-usai-80-tahun-variety-beralih-ke-mingguan-dan-online). Meski begitu, pengelolanya juga mengumumkan rencana untuk menerbitkan edisi mingguan, dengan melebur staf dan redaksi majalah hariannya dengan penerbitan kembar mingguannya. 

Pada kolom berjudul “Perubahan yang Baik Bagimu”, untuk merayakan era baru Variety, redaktur seniornya, Timothy Gray, mengatakan, penutupan edisi harian serta memusatkan perhatian pada mingguan dan edisi online, harus memberi keuntungan secara ekonomi dan meningkatkan kualitas seluruh tulisan.

Sebelumnya, Newsweek pada Oktober 2012, menggegerkan jagat media dengan pernyataan akan menutup versi cetaknya dan berpindah ke online saja. Newsweek selama ini dikenal sebagai salah satu majalah berita mingguan paling dikenal sekaligus dihormati di dunia. Majalah yang terbit dari New York, AS ini, dikenal sebagai nomor dua terbesar setelah Time dalam soal oplah dan pendapatan. 

Pada 2003, sirkulasi majalah ini di seluruh dunia mencapai lebih dari 4 juta, termasuk 2,7 juta di AS. Pada 2010, oplah majalah itu turun menjadi 1,5 juta. Majalah ini selain terbit dalam edisi internasional bahasa Inggris, juga terbit dalam edisi bahasa Jepang, Korea, Polandia, Spanyol, Arab dan Turki. Edisi Rusia majalah ini ditutup pada Oktober 2010 (http://www.republika.co.id/berita/internasional/global/12/10/19/mc3nzu-edisi-cetak-ditutup-newsweek-jadi-format-online).

Keputusan Newsweek diduga terkait kerugian besar yang harus ditanggung perusahaan—penjualan majalah itu terus anjlok. Pemiliknya, Barry Diller, Ketua IAC/Interactive Corp, pada Juli lalu sudah mulai mengeluh tentang biaya percetakan. Perusahaan diduga mengalami kerugian 40 juta dollar AS karena penurunan iklan dan pelanggan.

"Masalah Newsweek adalah terlalu fokus mencari pelanggan tetap yang sulit diraih," kata Tom Rosenstiel, Direktur Project for Excellence in Journalism dari Pew Research Center di Washington. Sejumlah industri penerbitan memang mengalami penurunan oplah sepanjang semester I-2012. Oplah majalah Fortune, Time, dan People juga anjlok. Newsweek adalah majalah yang oleh Thomas JC Martyn, mantan editor Time, pada 1933. Edisi cetak terakhirnya, terbit pada 31 Desember 2012, setelah hampir 80 tahun berkiprah (http://nasional.kompas.com/read/2012/10/20/19230432/Keputusan.Newsweek.Tak.Berarti.Industri.Majalah.Cetak.Berakhir).

Mediapocalypse?
Perpindahan media cetak di Amerika Serikat (AS) dari edisi benda nyata menjadi versi maya ini bagaikan mediapocalypse. Yang terjadi di AS belakangan ini, kata Susanto Pudjomartono, wartawan senior Tempo, memang seperti kiamat buat media: koran-koran cetak besar dan kecil mati bergelimpangan. Langkah serupa juga dilakukan Philadelphia Inquirer. Lalu menyusul Post-Intelligencer, koran Seattle yang sudah berusia 176 tahun.

Dalam artikelnya yang dimuat di http://www.tempo.co/read/kolom/2009/03/30/65/Susanto-Pudjomartono (tiga tahun sebelum Newsweek tutup), Susanto mengungkapkan, bertumbangannya koran lokal AS itu sudah bisa diduga dari hasil survei Pew Research Center, satu lembaga survei terkemuka di AS. Survei itu menunjukkan, 40% responden mengatakan mereka memperoleh berita nasional dan internasional dari internet, naik dari hanya 24 persen pada survei September 2007.

Ini berarti untuk pertama kalinya lebih banyak orang Amerika bergantung pada internet sebagai sumber berita dibanding surat kabar (35%). Sedangkan televisi tetap merupakan sumber utama berita nasional dan internasional (70%). Yang menarik, sekitar 59% orang berusia di bawah 30 tahun menyatakan memperoleh berita nasional dan internasional secara online, dan sekitar jumlah yang sama mendapatkannya dari televisi.

Hasil survei itu menunjukkan, tulis Susanto, generasi muda AS sudah mulai meninggalkan koran cetak dan makin mengandalkan berita elektronik. Media online tidak saja lebih cepat dan praktis karena bisa diakses lewat ponsel, tapi yang lebih penting berita-berita itu bisa didapat secara gratis. Kecenderungan orang tak mau membayar guna memperoleh berita tampaknya makin kuat.

Sejumlah media cetak yang telah “RIP” di AS antara lain adalah (lihat: http://teknobiz.co.id/news/FYI/2012/10/19/5_media_cetak_yang_runtuh_diterjang_internet) Post-Intelligencer di Seattle (1863-2009). The Christian Science Monitor berbasis di Boston (1908-2009). Times Picayune, di New Orleans (1837-2012). Rocky Mountain News, Denver (1859-2009); dan Cincinnati Post, dikenal juga sebagai Kentucky Post, di Ohio (1881-2007).

Meskipun dunia media cetak AS tampak pesimistis, namun saat menanggapi tutupnya Newsweek cetak, Mary Berner, Presiden The Association of Magazine Media, mengatakan, “Industri ini belum masuk ke toilet. Ini tidak benar. Keinginan membaca majalah versi cetak belum enyah."  Sebagian orang juga mengatakan, industri majalah cetak di AS masih stabil. Menurut MediaFinder.com, dalam sembilan bulan pertama 2012, dari 181 majalah baru edisi cetak yang terbit, hanya 61 yang tutup dini (http://nasional.kompas.com/read/2012/10/20/19230432/Keputusan.Newsweek.Tak.Berarti.Industri.Majalah.Cetak.Berakhir).

Selain itu, ada optimisme baru ihwal kecenderungan iklan media cetak. Asosiasi Majalah (MPA) di sana mengatakan, majalah tidak seperti  seperti surat kabar yang kadang didominasi iklan baris. Kebanyakan majalah tidak memiliki iklan baris yang besar yang akhirnya pindah ke media online (http://the-marketeers.com/archives/tren-penurunan-iklan-media-cetak.html).

Bagaimana dengan Indonesia?  Managing Director PT Media Nusantara Informasi Priscilla D Airin berpendapat, Indonesia masih belum mampu mengikuti perkembangan digitalisasi, antara lain karena koneksi internetnya masih belum bisa mendukung kegiatan mencari berita. Namun dia memprediksi media cetak akan pindah ke online dalam 5-10 tahun ke depan (http://archive.bisnis.com/articles/bisnis-media-dalam-5-10-tahun-media-cetak-akan-ditinggal).

Masih dalam artikel yang sama Susanto juga menulis, pengguna internet di Indonesia saat ini (2009) masih sekitar 25 juta, dari jumlah penduduk 240 juta, dengan tingkat penetrasi yang rendah, sekitar 10,5 persen. Bandingkan dengan jumlah pengguna internet di AS yang 223 juta (data Juni 2008) dengan penetrasi 71 persen. Jadi, bagaimanapun juga para penerbit media cetak Indonesia, sebut Susanto,  perlu menyiapkan strategi menghadapi ancaman tersebut.

Terlebih saat ini dengan dipicu maraknya penggunaan jejaring sosial seperti Facebook dan Twitter, yang bahkan menjadikannya sebagai tempat memperoleh berita yang direkomendasikan teman, menjadi tak terhindarkan bagi media untuk juga berfokus pada media digital/internet. Budiono Darsono, pendiri portal berita Detik.com, mengatakan, dengan melihat jumlah pengguna jejaring sosial yang terus bertambah, maka tidak ada pilihan lain bagi media untuk memanfaatkannya sebagai bagian dari praktik jurnalisme (http://www.radioaustralia.net.au/indonesian/2012-11-26/peranan-dan-tantangan-media-indonesia-di-masa-depan/1051936).

Menurut majalah Forbes, saat ini Indonesia masih menduduki salah satu posisi teratas di dunia sebagai pengguna Facebook bersama Brasil, India, Meksiko, Inggris Raya, dan negara asal Facebook, AS. Bahkan Forbes juga melansir, Jakarta dan Bandung masuk enam besar  pengguna Twitter teraktif di dunia (http://www.forbes.com/sites/victorlipman/2012/12/30/the-worlds-most-active-twitter-city-you-wont-guess-it/).**

News peg:





Tidak ada komentar:

Posting Komentar