3/13/2013

Cadangan Migas Baru Ditemukan, Siapa yang Bahagia?


“Ditemukan Cadangan Migas Baru di Indonesia”, demikian bunyi salah satu headline Republika Online, Rabu, 12 Maret 2013. Siapa yang bahagia dengan kabar ini? Selain mungkin bagi para operator bisnis bidang minyak dan gas (migas), sudah pasti juga pemerintah, karena ini berarti makin banyaknya peluang pemasukan bagi kas negara. Mungkin jugakah berarti akan lebih banyak peluang uang untuk dikorup?

Ladang minyak
Februari lalu, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Jero Wacik, mengungkapkan, penerimaan Indonesia  dari sektor migas sekitar Rp 400 triliun setahun dan Rp 100 triliun dari mineral. “Sekitar 500 triliun rupiah sektor kami menghasilkan untuk negara. Tahun 2012, ada sekitar 36 miliar dolar AS atau 360 triliun rupiah dari migas," ujarnya. (http://finance.detik.com/read/2013/02/17/145741/2172236/1034/jero-wacik-optimistis-tahun-depan-produksi-minyak-tembus-1-juta-barel-hari). 

Jika kebahagiaan Jero Wacik ini menetes ke rakyat, tentu seharusnya akan terasa dalam bentuk harga-harga yang tidak gampang naik, atau daya beli masyarakat yang baik, atau pelayanan pendidikan tinggi serta kesehatan yang cepat dan terjangkau biayanya. Terlebih jika para pengangguran digaji atau fakir miskin dan anak terlantar diurus oleh negara, pendapatan tinggi negara ini akan menjadi kabar yang mengharukan bagi rakyat—betapa pemerintahan ini oleh Tuhan diberikan berkah besar karena telah mengurus mereka.

Namun dalam kasus negeri ini, lagi-lagi hanya para koruptor atau calon koruptor yang bisa tersenyum lebar. Sudah tidak aneh lagi jika sektor ini menjadi lahan basah penyelewengan sejak zaman Orde Baru, namun hingga kini belum satu pun kasus korupsi sektor migas yang bisa ditindak. Dengan adanya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), jalan untuk mengusut penyelewengan di sektor ini menjadi lebih memungkinkan sebenarnya, meskipun mantan Wakil Ketua (KPK) Bidang Pencegahan, Haryono Umar, pernah berujar, KPK kesulitan menindak korupsi di sektor ini (lihat: http://www.neraca.co.id/index.php/harian/article/6838/Sulit.Jerat.Koruptor.Sektor.Migas#.UUEVRzezauI).

Meski begitu, tahun lalu KPK telah mengeluarkan pernyataan akan menyelidiki kemungkinan terjadinya korupsi besar-besaran berdasarkan temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). (http://milisnews.com/hukum/10388-kpk-akan-selidiki-korupsi-di-sektor-migas-indonesia.html). BPK menyebutkan, ada masalah dalam perhitungan di kontrak kerjasama yang dijalin Badan Pelaksana (BP) Migas (sekarang nama lembaga ini menjadi Satuan Kerja Khusus Migas/SKK Migas, Red) dan kontraktor kontrak kerja sama (KKKS), sehingga mengurangi government share

"BP Migas  melakukan kontrak kerja sama dengan 254 KKKS, di antaranya Chevron dan yang aktif 63 KKKS. Dari sharing profitnya, misalnya banyak hal yang tidak masuk, tapi masuk, sehingga mengurangi government share kita. Ada hitungan nyeleneh kurang lebih 1,7 miliar dolar AS," jelas anggota BPK, Bahrul Akbar di situs tersebut.

Penyelewengan-penyelewengan semacam inilah yang membuat banyak terjadi paradoks di negeri kaya migas ini. Haryono Umar dalam satu artikelnya menyebutkan, di sektor hilir tumbuh banyak SPBU baru, namun anehnya kelangkaan migas semakin terasa dan sangat memberatkan masyarakat, terutama kalangan rumah tangga. Atau, kita seringkali mengalami kelangkaan BBM di banyak wilayah, padahal katanya Indonesia adalah negara penghasil minyak (http://www.unisosdem.org/article_detail.php?aid=10114&coid=4&caid=33&gid=3). 

Belum lagi keanehan logika bahwa ketika harga minyak dunia naik, APBN malah terbebani. Bukannya sebagai salah satu negara produsen minyak justru harusnya kita diuntungkan. Sungguh logika yang menjadi jungkir balik (http://www.fiscuswannabe.web.id/2013/02/ENERGI.html).

Menurut pengamat migas, Kurtubi, penyebab negeri ini tidak pernah menikmati potensi migasnya sendiri adalah karena tata kelola sumber daya migas nasional yang dilegitimasi oleh UU Migas. Padahal UU Migas kata dia telah terbukti merugikan negara ratusan triliun rupiah, selain juga melanggar konstitusi (UUD 1945), bahkan menghilangkan kedaulatan negara (lihat: http://www.berdikarionline.com/kabar-rakyat/20121110/kurtubi-tata-kelola-migas-sekarang-rugikan-negara.html). 

Kurtubi mencontohkan kasus pengelolaan gas di LNG Tangguh di Bintuni, Papua, yang diserahkan ke perusahaan asing (British Petroleum/BP), karena mengacu pada aturan di UU Migas. British Petroleum menjual gas hasil produksi LNG tangguh itu sangat murah, yakni hanya 3,35 dolar AS per MMBTU. Ini berbeda sekali dengan LNG Badak di Kalimantan Timur, yang dibangun dan dikembangkan oleh pertamina, harga jual gas-nya bisa mencapai 20 dolar AS per MMBTU (million metric British thermal units).

Nah, jika pengelolaan migas tidak dirombak dari hulu hingga hilirnya, sampai cadangan migas kita habis pun, negeri ini tak pernah bakal diuntungkan. Kurtubi bahkan meminta agar SKK Migas sebagai pengganti BP Migas dibubarkan saja. Karena sebagai lembaga negara, SKK Migas harus selalu menunjuk pihak ke-3 jika akan menjual migas, dan ini bisa merugikan ratusan miliar dibanding jika Pertamina (sebagai badan usaha milik negara) yang menjualnya  langsung (http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2013/01/30/23350377/SK.Migas.Akan.Merugikan.Negara).


(ruri andayani)

News peg: 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar