“Ditemukan Cadangan Migas Baru di Indonesia”,
demikian bunyi salah satu headline Republika Online,
Rabu, 12 Maret 2013. Siapa yang bahagia dengan kabar ini? Selain mungkin bagi
para operator bisnis bidang minyak dan gas (migas), sudah pasti juga pemerintah, karena ini
berarti makin banyaknya peluang pemasukan bagi kas negara. Mungkin jugakah berarti
akan lebih banyak peluang uang untuk dikorup?
Ladang minyak |
Februari lalu, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Jero Wacik,
mengungkapkan, penerimaan Indonesia dari
sektor migas sekitar Rp 400 triliun setahun dan Rp 100 triliun dari mineral. “Sekitar
500 triliun rupiah sektor kami menghasilkan untuk negara. Tahun 2012, ada
sekitar 36 miliar dolar AS atau 360 triliun rupiah dari migas," ujarnya. (http://finance.detik.com/read/2013/02/17/145741/2172236/1034/jero-wacik-optimistis-tahun-depan-produksi-minyak-tembus-1-juta-barel-hari).
Jika kebahagiaan Jero Wacik ini menetes ke rakyat,
tentu seharusnya akan terasa dalam bentuk harga-harga yang tidak gampang naik,
atau daya beli masyarakat yang baik, atau pelayanan pendidikan tinggi serta kesehatan yang cepat dan terjangkau
biayanya. Terlebih jika para pengangguran digaji atau fakir miskin dan anak
terlantar diurus oleh negara, pendapatan tinggi negara ini akan menjadi kabar
yang mengharukan bagi rakyat—betapa pemerintahan ini oleh Tuhan diberikan
berkah besar karena telah mengurus mereka.
Namun dalam kasus negeri ini, lagi-lagi hanya para
koruptor atau calon koruptor yang bisa tersenyum lebar. Sudah tidak aneh lagi
jika sektor ini menjadi lahan basah penyelewengan sejak zaman Orde Baru, namun hingga
kini belum satu pun kasus korupsi sektor migas yang bisa ditindak. Dengan adanya
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), jalan untuk mengusut penyelewengan di sektor
ini menjadi lebih memungkinkan sebenarnya, meskipun mantan Wakil Ketua (KPK)
Bidang Pencegahan, Haryono Umar, pernah berujar, KPK
kesulitan menindak korupsi di sektor ini (lihat: http://www.neraca.co.id/index.php/harian/article/6838/Sulit.Jerat.Koruptor.Sektor.Migas#.UUEVRzezauI).
Meski begitu, tahun lalu KPK telah mengeluarkan
pernyataan akan menyelidiki kemungkinan terjadinya korupsi besar-besaran
berdasarkan temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). (http://milisnews.com/hukum/10388-kpk-akan-selidiki-korupsi-di-sektor-migas-indonesia.html).
BPK menyebutkan, ada masalah dalam perhitungan di kontrak kerjasama yang
dijalin Badan Pelaksana (BP) Migas (sekarang nama lembaga ini menjadi Satuan
Kerja Khusus Migas/SKK Migas, Red) dan kontraktor kontrak kerja sama (KKKS), sehingga mengurangi government share.
"BP Migas melakukan kontrak kerja sama dengan 254 KKKS, di
antaranya Chevron dan yang aktif 63 KKKS. Dari sharing profitnya, misalnya banyak hal yang tidak masuk, tapi
masuk, sehingga mengurangi government
share kita. Ada hitungan nyeleneh kurang
lebih 1,7 miliar dolar AS," jelas anggota BPK, Bahrul Akbar di situs tersebut.
Penyelewengan-penyelewengan semacam inilah yang membuat
banyak terjadi paradoks di negeri kaya migas ini. Haryono Umar dalam satu artikelnya
menyebutkan, di sektor hilir tumbuh banyak SPBU baru, namun anehnya
kelangkaan migas semakin terasa dan sangat memberatkan masyarakat, terutama
kalangan rumah tangga. Atau, kita seringkali mengalami kelangkaan BBM di banyak
wilayah, padahal katanya Indonesia adalah negara penghasil minyak (http://www.unisosdem.org/article_detail.php?aid=10114&coid=4&caid=33&gid=3).
Belum lagi keanehan logika bahwa ketika harga minyak dunia naik, APBN malah terbebani. Bukannya sebagai salah satu negara produsen minyak justru harusnya kita diuntungkan. Sungguh logika yang menjadi jungkir balik (http://www.fiscuswannabe.web.id/2013/02/ENERGI.html).
Menurut pengamat migas, Kurtubi, penyebab negeri ini tidak
pernah menikmati potensi migasnya sendiri adalah karena tata kelola sumber
daya migas nasional yang dilegitimasi oleh UU Migas. Padahal UU Migas kata dia telah
terbukti merugikan negara ratusan triliun rupiah, selain juga melanggar konstitusi (UUD 1945), bahkan menghilangkan
kedaulatan negara (lihat: http://www.berdikarionline.com/kabar-rakyat/20121110/kurtubi-tata-kelola-migas-sekarang-rugikan-negara.html).
Kurtubi mencontohkan kasus pengelolaan gas di LNG Tangguh di Bintuni, Papua, yang
diserahkan ke perusahaan asing (British Petroleum/BP),
karena mengacu pada aturan di UU Migas. British Petroleum menjual gas hasil produksi LNG tangguh itu
sangat murah, yakni hanya 3,35 dolar AS per MMBTU. Ini berbeda sekali dengan
LNG Badak di Kalimantan Timur, yang dibangun dan dikembangkan oleh pertamina,
harga jual gas-nya bisa mencapai 20 dolar AS per MMBTU (million metric British thermal units).
Nah, jika pengelolaan migas tidak
dirombak dari hulu hingga hilirnya, sampai cadangan migas kita habis pun, negeri
ini tak pernah bakal diuntungkan. Kurtubi bahkan meminta agar SKK Migas sebagai
pengganti BP Migas dibubarkan saja. Karena sebagai lembaga negara, SKK Migas
harus selalu menunjuk pihak ke-3 jika akan menjual migas, dan ini bisa
merugikan ratusan miliar dibanding jika Pertamina (sebagai badan usaha milik
negara) yang menjualnya langsung (http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2013/01/30/23350377/SK.Migas.Akan.Merugikan.Negara).
(ruri andayani)
News peg:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar