3/06/2013

Kultur Sinetron Mulai Tercerminkah pada Karakter Bangsa?



"Masyarakat Indonesia menghabiskan setidaknya 197 jam untuk menonton sinetron"
  
Aktivitas masyarakat Indonesia menonton TV pada tahun 2012 mengalami penurunan 1 persen dibanding 2011. Demikian dilansir satu lembaga pemeringkat belum lama ini. Apakah ini menunjukkan adanya tren pergeseran aktivitas masyarakat Indonesia ke hal yang lebih baik (biarpun hanya 1 persen), ke membaca misalnya?
Berapa banyak anda menonton TV?

Tanpa menyebutkan penyebab penurunan tersebut, ternyata tetap saja kegiatan masyarakat kita dalam menonton TV masih tertinggi dibandingkan kegiatan lain seperti membaca koran atau mendengarkan radio. Parahnya, sinetron masih tetap yang paling menyita waktu masyarakat Indonesia dalam menonton TV.

Managing Director PT Nielsen Company Indonesia Irawati Pratignyo, menyebutkan, masyarakat Indonesia menghabiskan setidaknya 197 jam untuk menonton sinetron. Mereka menghabiskan 24 persen dari jam menonton untuk melihat opera sabun sepanjang tahun, demikian  Republika Online melansir. 

Sementara itu, aktivitas membaca surat kabar masih stagnan di tingkat 13 persen, mendengarkan radio turun dari 41 persen menjadi 25 persen, sedangkan rasio penetrasi televisi mencapai 94 persen, turun 1 persen dibandingkan 2011. Film seri masih menjadi yang paling banyak ditonton masyarakat Indonesia. “Hal ini disebabkan oleh waktu tayangnya tepat ketika masyarakat berada di depan televisi seperti malam hari," ujar Irawati (lihat: http://www.republika.co.id/berita/nasional/umum/13/03/06/mj82rm-masyarakat-indonesia-habiskan-197-jam-menonton-sinetron).

Jadi, kemana gerangan larinya yang satu persen? Mungkinkah mereka pindah beraktivitas di media sosial sepeti Facebook atau Twitter. Faktanya belum lama ini Forbes memberitakan mengenai kota yang paling aktif ber-Twitter, dan Jakarta ada di nomor wahid. Menyusul kemudian New York, Tokyo, London, Sao Paolo, dan…. Bandung di peringkat ke-6. Sementara pada pertengahan 2012, berdasarkan poling yang dilakukan Socialbakers.com (satu situs analitik online), Indonesia sempat menempati peringkat ke-4 pengakses Facebook terbesar di dunia, turun dari semula ke-3 (lihat: http://www.merdeka.com/teknologi/indonesia-peringkat-ke-4-pengakses-facebook-terbesar-di-dunia.html).

Bahwa masyarakat Indonesia pada umumnya lebih banyak menghabiskan waktu untuk menonton TV daripada membaca, bukan isyu baru lagi. Bahkan melihat rasio perbandingan jumlah pembaca surat kabar di Indonesia jika dibanding Malaysia saja misalnya, kita selalu saja kalah set. Jika standar Unesco menyebutkan bahwa yang ideal 1 surat kabar dibaca 10 orang, makan di Indonesia 38 orang. Bandingkan dengan Malaysia 20 orang, Singapura 8 orang, bahkan di Jepang satu orang membaca 3-4 koran (http://domu-ambarita.blogspot.com/2008/06/koran-lokal-berebut-kue-otonomi-daerah_05.html).

Ihwal gandrungnya orang Indonesia menonton barangkali juga bisa dilihat dari kesuksesan produsen-produsen pesawat televisi menjual produknya. “Konsumen Indonesia merupakan pasar yang potensial untuk pemasaran produk televisi,” begitu kata Jun Nishioka, Presiden Direktur PT Toshiba Visual Media Network Indonesia awal 2012 lalu. Maka, dengan percaya diri Toshiba menargetkan penjualan TV-nya akan mencapai 1,06 juta unit pada tahun itu (lihat:http://www.neraca.web.id/index.php/harian/article/12717/Toshiba.Targetkan.Penjualan.Naik.25). Pernyataan naiknya pangsa pasar televisi di Indonesia juga diungkapkan oleh produsen televisi LG dan Panasonic. 

Sinetron, Oh! 
Tingginya aktivitas masyarakat Indonesia dalam menonton televisi, apalagi yang ditonton adalah sinetron (dan kita tahu sinetron nasional kita seperti apa), sesungguhnya agak menakutkan jika dikaitkan dengan satu teori bernama Teori Kultivasi. Teori ini menyebutkan, televisi menjadi media atau alat utama dimana para penonton televisi belajar tentang masyarakat dan kultur (budaya) di lingkungannya. 

Dengan kata lain, persepsi yang terbangun di benak pemirsa tentang masyarakat dan budaya sangat ditentukan oleh televisi. Ini artinya, melalui kontak pemirsa dengan televisi, mereka belajar tentang dunia, orang-orangnya, nilai (nilai sosial) serta adat dan tradisinya. Teori kultivasi dikembangkan dari proyek penelitian skala besar berjudul “Indikator Budaya” oleh George Gerbner dan Larry Gross dari University of Pennsylvania, untuk meneliti efek jangka panjang televisi terhadap khalayak.

Jika teori kultivasi ini benar adanya, mungkinkah kekerasan (misalnya) dalam adegan-adegan sinetron di Indonesia telah terekam dalam benak masyarakatnya, sehingga begitu banyak belakangan ini aksi-aksi kriminalitas yang melibatkan kekerasan. Mudah-mudahan tidak, karena kita tahu seperti apa kualitas sinetron-sinetron kita, yang bahkan produsernya sendiri pernah diisukan melarang anak-anaknya menonton sinetron buatannya sendiri. Alamaak!! **


(penulis: ruri andayani)

Newspeg:  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar