3/27/2013

Ketika Virus “Blusukan” Mulai Menjangkit hingga Malaysia



“Roch Basoeki Mangoenpoerojo: kinerja demikian terasa aneh bagi orang Jakarta/nasional yang suka melihat pejabat arogan, main panggil, perintah, marah”

Jokowi terus menginspirasi. Bupati Mamberamo Tengah, Provinsi Papua, Ricky Ham Pagawak, mengatakan dirinya bersama Wakil Bupati Yonas Kenelak, akan bekerja seperti Gubernur DKI Jakarta, Joko Widodo. Pagawak menyatakan, hal itu harus dilakukan bersama wakil bupatinya mengingat faktor geografis Mamberamo Tengah memiliki cukup banyak tantangan. 
 
Blusukaan!!

“Kami tidak mau kerja terlalu pasif. Kalau di Papua tidak ada Jokowi-nya, saya dan bapak wakil sepakat tidak boleh kerja duduk di kantor, kami akan selalu turun lapangan," katanya (http://www.republika.co.id/berita/nasional/umum/13/03/27/mk9d28-pejabat-ini-siap-tiru-gaya-jokowi).

Efek Joko Widodo (Jokowi) memang begitu fenomenal. Cara kerja “blusukan”-nya banyak mencengangkan, menginspirasi, sekaligus membikin merah banyak telinga pejabat lain. Sebab, selain karena merasa sudah melakukan hal yang sama, juga karena memang ada juga pejabat yang “manja”.

Blusukan, satu kata yang berasal dari bahasa Jawa, memang bukan metode baru para pejabat.  Dulu saat Orde Lama, Presiden Soekarno mengenalkan istilah Turba, menekankan pejabat untuk "turun ke bawah" membantu kehidupan masyarakat desa, paling tidak merasakan denyut nadi kehidupan rakyat desa yang biasanya sangat keras dan sulit (http://www.shnews.co/kolom/periskop/detile-90-blusukan-turba-sidak.html).

Namun intensitas blusukan Jokowi yang sering, tampaknya telah mengidentikkan dirinya dengan fenomena “pejabat blusukan” tersebut. Ekspos media yang besar-besaran termasuk media asing, serta figur Jokowi sendiri yang berhasil mengesankan masyarakat luas, tentunya juga memiliki andil besar. 

Mengenai ekspos media asing, saat Jakarta dikepung banjir Januari lalu, popularitas Jokowi kian berkibar. BBC sampai mengeluarkan satu artikel berjudul “Flooding Tests 'Jakarta's Obama' (lihat: http://www.bbc.co.uk/news/world-asia-21137613). Dalam artikel itu,  BBC banyak memuji Jokowi. Jokowi disebut sebagai tokoh populer dan mendapat dukungan dari kalangan bawah maupun kalangan menengah Jakarta. Warga Jakarta optimistis Jokowi bisa menyelesaikan masalah banjir di Jakarta. Jokowi juga dikenal sebagai politikus yang bersih dan pekerja keras (http://www.merdeka.com/jakarta/5-sebutan-untuk-jokowi-dari-media-asing/obama-dari-jakarta.html).


Sebelum istilah blusukan Jokowi ini terkenal, Dede Yusuf, Wagub Jabar, mengaku sudah melakukannya sejak lama. Menurutnya, mengunjungi pelosok-pelosok kampung ini bukan masalah meniru Jokowi.  Gaya Jokowi kata Dede, sudah dia lakukan sejak dulu. "Sudah saya lakukan lima tahun," kata Dede. Dan setelah pengumuman quick count menyatakan dia kalah dalam pemilu Jabar I, kebiasaan blusukan itu akan kembali dijalani hingga sisa waktunya sebagai Wagub Jabar habis (http://news.detik.com/read/2012/11/28/153535/2104010/10/tak-tiru-jokowi-dede-yusuf-mengaku-sudah-5-tahun-lakukan-blusukandanhttp://www.republika.co.id/berita/nasional/jawa-barat-nasional/13/02/28/mixgiv-dede-yusuf-masih-tunggu-hasil-kpu).


Ketika Presiden SBY masuk ke pemukiman-pemukiman kumuh dan kampung-kampung nelayan, media pun menganggap SBY meniru Jokowi, meskipun para kader partai Demokrat menampik “tuduhan” tersebut. "Pak SBY sebenarnya dari dulu sudah sering blusukan. Sejak periode pertama kepemimpinannya. Media aja yang nggak liput," kata Wasekjen Partai Demokrat, Saan Mustopa (http://www.republika.co.id/berita/nasional/politik/13/01/04/mg3ld2-demokrat-lebih-dulu-sby-blusukan-daripada-jokowi).

Namun apa pun reaksinya, toh virus blusukan Jokowi ini kadung menyebar citranya bahkan hingga negeri jiran. Seorang kolumnis Malaysia, Syed Nadzri Syed Harun, dalam tulisan yang berjudul, “Wanted Badly: A Malaysian Jokowi”, mengatakan, Jokowi lebih menekankan kerja nyata ketimbang sibuk dengan urusan politik. "Jokowi bahkan mau masuk ke gorong-gorong dan mengunjungi daerah kumuh serta berbicara dengan rakyat miskin tentang akses kesehatan dan pendidikan," tulis Nadzri (http://www.merdeka.com/peristiwa/malaysia-krisis-figur-rindukan-sosok-seperti-jokowi.html).

Menanggapi fenomena blusukan Jokowi, Roch Basoeki Mangoenpoerojo, Purnawirawan TNI dan Anggota Presidium Barisan Nasional, menulis: Blusukan adalah kinerja yang fokus di lapangan dengan dukungan administrasi yang baik. Naik turun bus reyot, memandangi tumpukan sampah di kali, masuk riol, menyapa rakyat yang terpinggirkan, malah melantik wali kota di tengah gubuk kumuh.

Roch juga menulis: Jokowi dianggap tebar pesona seperti SBY. Ketika ingin tahu kekuatan rakyat, saya juga blusukan puluhan tahun di lokasi transmigrasi dan permukiman kumuh. Tuhan ada di situ, kata Bung Karno. Kinerja blusukan juga dilakukan oleh banyak kepala daerah. Wali kota Surabaya, misalnya. Kinerja demikian terasa aneh bagi orang Jakarta/nasional yang suka melihat pejabat arogan, main panggil, perintah, marah. Bentuk kepemimpinan versi Jawa: nimbali, dawuhi, dukani (http://nasional.kompas.com/read/2013/01/10/02030841/Manajemen.Blusukan).

Terlepas dari munculnya banyak sinisme terhadap cara kerja Jokowi yang dianggap pencitraan, Jokowi sendiri menyatakan akan terus bertahan dengan gaya kerjanya yang suka blusukan ke berbagai wilayah di Jakarta. Bahkan Jokowi akan melakukan hal itu sepanjang periode pertama masa baktinya sebagai Gubernur DKI yang baru dijabat sejak akhir Oktober 2012. "Oh kalau saya sih lima tahun mau blusukan terus. Mau ke kampung terus pokoknya selama lima tahun, ke bawah, ya banyak di lapangan lah," kata Jokowi. Hal ini dikatakannya pada awal-awal masa jabatan barunya sebagai Gubernur DKI Jakarta (http://news.detik.com/read/2012/11/20/004224/2095185/10/jokowi-saya-mau-blusukan-terus-menerus-selama-5-tahun).**


Newspeg:


Tidak ada komentar:

Posting Komentar