"Karena Krapyak alias Dayeuhkolot selalu banjir, bupati beserta rakyatnya pindah ke kota Bandung yang sekarang"
Hujan
yang kembali mengguyur Bandung di penghujung musim hujan 2013, membuat Bandung
Selatan kembali mengalami banjir. Kecamatan Majalaya, Baleendah, Bojongsoang,
dan Dayeuhkolot, adalah nama-nama yang tak asing lagi menjadi langganan banjir
di sana. Penyebabnya, daerah-daerah ini memang berada di sekitar daerah aliran
sungai (DAS) Citarum.
Banjir "langganan", tapi rumah makin padat. |
Kondisi
sekarang menjadi makin ruwet karena penyebabnya selain perilaku alami sungai, juga
karena jumlah manusia yang membengkak, dan diperparah oleh perilaku mereka. Kepala
Pusat Data, Informasi, dan Humas BNPB Sutopo Purwo Nugroho, Rabu kemarin
mengatakan, banyak faktor yang menyebabkan banjir, seperti kerusakan DAS,
sedimentasi, pemanfaatan lahan bantaran sungai menjadi permukiman dan industri,
dan sampah (http://www.republika.co.id/berita/nasional/jawa-barat-nasional/13/03/28/mkbnqy-banjir-rendam-5051-rumah-di-kecamatan-bandung).
Banjir
di daerah ini merupakan gejala alami sejak sungai itu ada di sana. Gara-gara banjir
itu juga pemerintahan kabupaten di masa penjajahan Belanda, pada akhir abad ke-19
memutuskan memindahkan ibu kota Kabupaten Bandung yang semula di Dayeuhkolot
ini ke tempat lain. Ketika itu, Dayeuhkolot masih bernama Krapyak. Dayeuhkolot
sendiri memiliki arti “kota lama”.
Maka pada sekitar akhir tahun 1808 dan awal tahun
1809, bupati Kabupaten Bandung (R.A Wiranatakusumah II), pindah ke lokasi kota
Bandung yang sekarang. Yang pindah bukan hanya sang bupati, melainkan juga
dengan rakyatnya (http://wikimapia.org/3925453/id/Bandung).
Sayang,
ketika Krapyak saat itu masih tidak sepadat sekarang, proses pemahaman tentang “kearifan
alam” pastinya tidak dilakukan. Sehingga, seiring dengan kian banyaknya jumlah
manusia, maka lahan-lahan di sana kembali dihuni manusia, bahkan hingga menjadi
kawasan padat dan kumuh seperti sekarang. Bahkan karena tidak ada sosialisasi
menerus, aturan yang sudah jelas pun dilanggar saja.
Aturan
umum yang beredar adalah bahwa antara sungai dengan tempat masyarakat
beraktivitas (misalnya permukiman atau jalan), harus ada area kosong (sempadan)
seluas minimal 10 meter. Namun kenyataannya, kadang malah tak ada jarak sama
sekali antara sungai dan rumah penduduk. Dalam Peraturan Pemerintah (PP) tahun
2011 tentang sungai (pasal 9), disebutkan bahwa garis sempatan sungai tidak
bertanggul di perkotaan minimal harus antara 10-20 meter (tergantung kedalaman
sungai). (lihat: http://www.pu.go.id/publik/ind/pengumuman/Ntc_110613121855.pdf).
Sementara itu, jika menuruti Perda Jabar tentang DAS
Citarum sebagaimana disampaikan Gubernur Jabar Ahmad Heryawan, permukiman
(bangunan) itu harus menghadap sungai dan berjarak 100 meter dari bibir sungai.
Atas dasar aturan itu juga, Desember lalu Bupati Kab. Bandung Dadang M Naser,
menyebutkan, gerakan Sabililungan telah berhasil membebaskan sebanyak 60 hektar
lahan di kiri kanan Citarum. Lahan tersebut dibeli secara gotong royong. Sabilulungan adalah gerakan untuk kesadaran masyarakat
terhadap lingkungan (http://www.seputarjabar.com/2012/12/bupati-bandung-dadang-m-naser-akan.html).
News peg:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar