3/28/2013

Ibukota yang Ditinggalkan itu Kini Padat Lagi



"Karena Krapyak alias Dayeuhkolot selalu banjir, bupati beserta rakyatnya pindah ke kota Bandung yang sekarang"

Hujan yang kembali mengguyur Bandung di penghujung musim hujan 2013, membuat Bandung Selatan kembali mengalami banjir. Kecamatan Majalaya, Baleendah, Bojongsoang, dan Dayeuhkolot, adalah nama-nama yang tak asing lagi menjadi langganan banjir di sana. Penyebabnya, daerah-daerah ini memang berada di sekitar daerah aliran sungai (DAS) Citarum. 

Banjir "langganan", tapi rumah makin padat.

Kondisi sekarang menjadi makin ruwet karena penyebabnya selain perilaku alami sungai, juga karena jumlah manusia yang membengkak, dan diperparah oleh perilaku mereka. Kepala Pusat Data, Informasi, dan Humas BNPB Sutopo Purwo Nugroho, Rabu kemarin mengatakan, banyak faktor yang menyebabkan banjir, seperti kerusakan DAS, sedimentasi, pemanfaatan lahan bantaran sungai menjadi permukiman dan industri, dan sampah (http://www.republika.co.id/berita/nasional/jawa-barat-nasional/13/03/28/mkbnqy-banjir-rendam-5051-rumah-di-kecamatan-bandung).

Banjir di daerah ini merupakan gejala alami sejak sungai itu ada di sana. Gara-gara banjir itu juga pemerintahan kabupaten di masa penjajahan Belanda, pada akhir abad ke-19 memutuskan memindahkan ibu kota Kabupaten Bandung yang semula di Dayeuhkolot ini ke tempat lain. Ketika itu, Dayeuhkolot masih bernama Krapyak. Dayeuhkolot sendiri memiliki arti “kota lama”.

Maka pada sekitar akhir tahun 1808 dan awal tahun 1809, bupati Kabupaten Bandung (R.A Wiranatakusumah II), pindah ke lokasi kota Bandung yang sekarang. Yang pindah bukan hanya sang bupati, melainkan juga dengan rakyatnya (http://wikimapia.org/3925453/id/Bandung).

Sayang, ketika Krapyak saat itu masih tidak sepadat sekarang, proses pemahaman tentang “kearifan alam” pastinya tidak dilakukan. Sehingga, seiring dengan kian banyaknya jumlah manusia, maka lahan-lahan di sana kembali dihuni manusia, bahkan hingga menjadi kawasan padat dan kumuh seperti sekarang. Bahkan karena tidak ada sosialisasi menerus, aturan yang sudah jelas pun dilanggar saja.

Aturan umum yang beredar adalah bahwa antara sungai dengan tempat masyarakat beraktivitas (misalnya permukiman atau jalan), harus ada area kosong (sempadan) seluas minimal 10 meter. Namun kenyataannya, kadang malah tak ada jarak sama sekali antara sungai dan rumah penduduk. Dalam Peraturan Pemerintah (PP) tahun 2011 tentang sungai (pasal 9), disebutkan bahwa garis sempatan sungai tidak bertanggul di perkotaan minimal harus antara 10-20 meter (tergantung kedalaman sungai). (lihat: http://www.pu.go.id/publik/ind/pengumuman/Ntc_110613121855.pdf).

Sementara itu, jika menuruti Perda Jabar tentang DAS Citarum sebagaimana disampaikan Gubernur Jabar Ahmad Heryawan, permukiman (bangunan) itu harus menghadap sungai dan berjarak 100 meter dari bibir sungai. Atas dasar aturan itu juga, Desember lalu Bupati Kab. Bandung Dadang M Naser, menyebutkan, gerakan Sabililungan telah berhasil membebaskan sebanyak 60 hektar lahan di kiri kanan Citarum. Lahan tersebut dibeli secara gotong royong.  Sabilulungan adalah gerakan untuk kesadaran masyarakat terhadap lingkungan (http://www.seputarjabar.com/2012/12/bupati-bandung-dadang-m-naser-akan.html).


News peg:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar