7/03/2013

UU Ormas Indikasi Kebangkitan Otoritarianisme Ala Orba



“Gamawan Fauzi memastikan tidak ada pasal dan ayat represif yang akan merugikan masyarakat”

DPR akhirnya mengesahkan Rancangan Undang-Undang Organisasi Massa ((RUU Ormas) menjadi UU dalam rapat paripurna, Selasa (2/7/13). Pengesahan dilakukan melalui mekanisme voting. Dari sembilan fraksi di DPR, tiga fraksi menyatakan menolak. Menteri Dalam Negeri (Mendagri), Gamawan Fauzi, mengatakan, Kementerian Dalam Negeri siap melaksanakan dan melakukan sosialisasi UU Ormas ke seluruh wilayah Indonesia, termasuk kepada ormas yang masih bersikukuh menolak disahkannya RUU tersebut. Pasalnya, ormas-ormas yang ada termasuk yang telah memberi sumbangan bagi kemerdekaan Indonesia, seperti Muhammadiyah.

Terancam tak bisa kumpul-kumpul lagi (ROL)
Fraksi yang setuju RUU Ormas menjadi UU adalah: Fraksi Partai Demokrat, Fraksi Partai Golkar, Fraksi PDI Perjuangan, Fraksi PKS, Fraksi PPP, Fraksi PKB, dengan total suara 311 orang. Sedangkan yang menolak adalah: Fraksi PAN, Fraksi Partai Gerindra, Fraksi Partai Hanura, dengan total suara 50 orang (http://www.republika.co.id/berita/nasional/politik/13/07/02/mpaxp3-tiga-fraksi-menolak-ruu-ormas-tetap-disahkan).

Sebelumnya, praktisi hukum senior, Adnan Buyung Nasution, memperingatkan, sebagai produk dari kesalahan berpikir para perumusnya, RUU Ormas akan membahayakan rakyat. "Paradigma berpikirnya salah, terutama Gamawan Fauzi. RUU ini berbahaya bagi masyarakat," kata Adnan. Bagaimana tidak, lanjutnya, saat Indonesia merdeka, negara menjamin dan memerdekakan rakyat untuk berkumpul dan berserikat. Tapi, RUU Ormas malah hadir untuk membatasinya. RUU Ormas, menurut dia, menunjukkan betapa inginnya pemerintah menguasai dan mengontrol penuh rakyatnya. “Ada indikasi, otoritarianisme kembali dimunculkan,” ujar Adnan (http://www.republika.co.id/berita/nasional/politik/13/06/30/mp7pkv-adnan-buyung-nilai-ruu-ormas-bahayakan-rakyat).

Sebagai pihak yang terancam, organisasi buruh se-Jabodetabek saat rapat paripurna digelar, mengerahkan 3000-an lebih orang untuk menggelar aksi unjuk rasa menolak RUU tersebut di depan Gedung MPR/DPR. Massa aksi berasal dari Konfederasi Serikat pekerja Indonesia (KSPI) bersama Majelis Pekerja Buruh Indonesia (MPBI), gabungan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), dan Ormas. Aksi juga berlangsung di kota besar lainnya seperti Makassar, Surabaya, dan Bandung.

Presiden KSPI, Said Iqbal, mengatakan, dengan disahkannya RUU Ormas, pemerintah dapat membubarkan serikat pekerja tanpa melalui pengadilan. "Pemerintah ingin mengontrol kembali gerakan-gerakan serikat pekerja seperti rezim orde baru melalui RUU Ormas ini," ujar Said. Lebih lanjut dia mengatakan, RUU Ormas akan menjadi produk konspirasi DPR dan pemerintah. Mereka ingin mengekang dan merampas kedaulatan rakyat sebagai pemegang kedaulatan negara dengan cara memberangus kebebasan berserikat bagi setiap warga negara dan mengebiri hak mogok kerja bagi serikat pekerja.

"Pemerintah seharusnya lebih memfokuskan kerja untuk kesejahteraan rakyat dan lebih serius memberatas maraknya korupsi, bukan membatasi kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat yang merupakan hak azasi manusia bagi warga negara," kata Said, Selasa (2/7). (http://www.republika.co.id/berita/nasional/umum/13/07/02/mpajrk-ribuan-buruh-geruduk-gedung-mpr-tolak-ruu-ormas).

Ormas Pelat Merah dan Non Pelat Merah
Selain ormas, akademisi dan analis politik juga menolak pengesahan RUU Ormas. LIPI misalnya, menilai paradigma yang mendasari penyusunan RUU Ormas keliru, karena dibangun berdasarkan kerangka berpikir yang cenderung sesat karena tidak mempercayai aktivitas masyarakat. "RUU Ormas harus dicabut atau ditarik. Karena tidak bermanfaat, tidak relevan, dan tidak diperlukan oleh bangsa Indonesia," ujar Kepala Bidang Politik Nasional, Pusat Penelitian Politik, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Irine Hiraswari Gayatri.

Lebih lanjut Irine mengatakan, dengan pengesahan RUU ini, ormas bisa terpecah dalam dua kubu: ormas pelat merah yang diakui pemerintah, dan ormas yang dianggap berada di luar sistem. Mereka lanjutnya, akan saling curiga, disusul potensi penyalahgunaan kekuasaan oleh aparat negara karena naskah RUU ormas yang dinilai multitafsir. Sifat multitafsir ini kata Irine, berpotensi menimbulkan penyalahgunaan oleh kelompok atau organisasi yang menggunakan kekerasan, premanisme, dan intimidasi. Menanggapi kecurigaan DPR atas penggunaan dana asing oleh ormas, Irine menilainya sebagai aneh. Karena di sisi lain pemerintah membiarkan asing lewat koorporasi global menggerogoti, mengeksploitasi, bahkan menghancurkan perekonomian nasional (http://www.republika.co.id/berita/nasional/politik/13/07/01/mp953h-lipi-kerangka-berpikir-penyusunan-ruu-ormas-sesat).

Dalam rumusan RUU Ormas Pasal 86 disebutkan, RUU Ormas akan mencabut keberadaan Staatsblad 1870 Nomor 64, yang berisi tentang perkumpulan-perkumpulan berbadan hukum. Jika keberadaan Staatsblad tersebut dicabut, otomatis dasar hukum ormas yang berbentuk perkumpulan-perkumpulan juga hilang. Artinya, ormas perkumpulan seperti Muhammadiyah, Konferensi Waligereja Indonesia (KWI), Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI), Persatuan Ummat Islam (PUI), dan perkumpulan lainnya secara otomatis bubar.

Judicial Review
Menurut Ketua Umum PP Muhammadiyah Din Syamsudin, hal ini sangat ahistoris. Pasalnya, ormas adalah perkumpulan yang telah ada sejak sebelum Indonesia merdeka, bahkan memiliki peran penting dalam kemerdekaan Indonesia. "Bukan partai politik yang berjasa merebut kemerdekaan," kata Din (http://www.republika.co.id/berita/nasional/umum/13/04/04/mkq66g-ruu-ormas-disahkan-muhammadiyah-pgi-kwi-pui-bubar). Ketua Majelis Hukum dan HAM PP Muhammadiyah, Syaiful Sahri, mengatakan, RUU Ormas kehilangan urgensinya karena dalam UUD 1945 sudah diatur kebebasan berserikat dan berkumpul. Syaiful curiga ini pesanan dari aktor-aktor politik (http://www.republika.co.id/berita/nasional/politik/13/06/29/mp50h4-muhammadiyah-ruu-ormas-hanya-serpihan-tidak-urgen).

Din Syamsudin mewakili Koalisi Akbar Masyarakat Sipil Indonesia (KAMSI), lantas memastikan akan mengajukan judicial review ke Mahkamah Konstituri (MK), di hari pertama RUU ini disahkan. “Pemerintah terlalu kurang kerjaan, padahal masih banyak RUU yang butuh diprioritaskan yang menyangkut kepentingan rakyat. Misalnya saja UU migas,” ujar Din (http://www.republika.co.id/berita/nasional/politik/13/04/04/mkqjmt-belum-disahkan-ruu-ormas-terancam-judicial-review).

Takkan Rugikan Rakyat
Sementara itu sesaat setelah pengesahan RUU Ormas menjadi UU, Gamawan Fauzi menyatakan, pihaknya memastikan tidak ada pasal dan ayat represif yang merugikan masyarakat. UU Ormas, lanjut Gamawan, setelah dibahas sejak 2011 telah disesuaikan dengan dinamika yang terjadi di tengah masyarakat. Beragam keberatan dan penolakan juga telah diakomodasi lewat sejumlah pasal. Sehingga, diharapkan sosialisasi pelaksanaan UU Ormas dapat berjalan baik, termasuk sosialisasi kepada ormas yang hingga saat ini masih bertahan menolak keberadaan UU Ormas. Gamawan optimistis, pelaksanaan UU Ormas yang didukung maksimalisasi penegakan hukum akan menciptakan harmonisasi pada 139 ribu lebih ormas yang terdaftar di Indonesia (http://www.republika.co.id/berita/nasional/politik/13/07/02/mpb2gl-pemerintah-dan-dpr-pastikan-uu-ormas-tidak-represif).

Ketua Panitia Khusus (Pansus) RUU Ormas, Abdul Malik Haramain, mengatakan, pasal-pasal yang dianggap represif telah dihilangkan dan diubah. "Semua keberatan sudah kami akomodasi. Bayangkan, dari awalnya hanya 50 pasal sekarang menjadi 88 pasal. Jadi penolakannya di bagian mana lagi?" kata Malik di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, 24 Juni lalu. Pasal-pasal yang dipersoalkan tetapi telah diubah oleh Pansus RUU Ormas misalnya BAB II Pasal 2 yang menjelaskan tentang asas ormas tidak bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945. Lainnya adalah BAB IV Pasal 9, yang menyatakan bahwa ormas didirikan oleh tiga orang atau lebih warga negara Indonesia, kecuali ormas yang berbadan hukum yayasan. Pasal ini sebelumnya dikhawatirkan akan mempersulit WNI yang berniat mendirikan ormas (http://www.republika.co.id/berita/nasional/politik/13/06/24/mow8ew-pasal-represif-telah-dihilangkan-ruu-ormas-segera-disahkan).

Peneliti politik LIPI lainnya, Syamsuddin Haris, mengatakan, upaya pansus DPR melakukan tambal sulam terhadap pasal dan ayat dalam RUU Ormas tidak ada gunanya. Sebab kerangka berpikir yang digunakan sejak awal sudah salah. "Bahwa masyarakat itu sumber ancaman, harus dibina, diawasi. Kemendagri diarahkan menjadi pembina politik, itu sudah lewat, bukan zamannya lagi," kata Syamsuddin. Pengesahkan RUU Ormas, lanjutnya, hanya akan memperlihatkan sikap parlemen yang tidak ingin kehilangan muka di mata publik, karena RUU Ormas telah memakan waktu pembahasan yang cukup lama, sehingga tenggat waktu untuk disahkan sebenarnya sudah habis (http://www.republika.co.id/berita/nasional/politik/13/07/01/mp958c-lipi-ruu-ormas-hanya-agar-dpr-tak-kehilangan-muka).**

Tidak ada komentar:

Posting Komentar