Dalam
dua dasawarsa terakhir, kawasan hutan alam di Pulau Sumatra telah berkurang
hampir 50 persen. Kini, benteng terakhir keanekaragaman hayati yang ada di
Pulau Sumatra, adalah hutan alam yang ada di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam,
terutama hutan dataran rendahnya. Hutan dataran rendah di Aceh ini kini menjadi
satu-satunya tempat di mana empat satwa asli Sumatra berada, yaitu harimau,
badak, orang utan, dan gajah.
Hutan dataran rendah tua (mongabay.co.id) |
Hal
tersebut diungkapkan Direktur World Wild Fund (WWF) Indonesia, Efransjah. Berkurangnya
lahan hutan di Indonesia ini kata Efransjah, akibat maraknya praktik korupsi di
sektor kehutanan sehingga hutan dikorbankan untuk kepentingan sesaat oleh
sejumlah orang. Tanpa adanya pengelolaan kehutanan yang transparan dan
akuntabel, lanjut Efran, dikhawatirkan hutan Aceh ini akan bernasib sama dengan
hutan-hutan lain di Sumatra (http://www.republika.co.id/berita/nasional/umum/13/07/04/mpewji-hutan-di-sumatra-tinggal-50-persen).
Hutan
dataran rendah adalah hutan yang tumbuh di ketinggian 0-1.200 meter. Hutan
dataran rendah Sumatera memiliki keanekaragaman hayati terkaya di dunia (http://id.shvoong.com/exact-sciences/agronomy-agriculture/2136171-hutan-macam-macam-hutan/).
Pada 2003, Direktur Eksekutif Wahana
Lingkungan Hidup (Walhi) Lampung, Mukri Friatna, sedemikian pesimistisnya
sehingga pernah menyatakan bahwa pada 2005 Pulau Sumatra tak kan lagi memiliki
hutan alam dataran rendah. Eksploitasi hutan yang cepat, kata Mukri waktu itu, membuat
umur hutan alam itu hanya tinggal menghitung hari. “Pemerintah pusat, daerah,
pengusaha HPH (hal pengelolaan hutan), industri kertas dan perkebunan besar
memiliki andil sebagai penyebab semua itu,” kata Mukri (http://www.tempo.co.id/hg/nusa/sumatera/2003/07/28/brk,20030728-02,id.html).
Modus Korupsi Kehutanan
Ihwal
pihak-pihak yang menjadi penyebab habisnya hutan alam seperti yng dikatakan
Mukri, saat ini misalnya, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tengah mendalami
keterlibatan sejumlah perusahaan kehutanan yang beroperasi di Kabupaten Siak
dan Pelalawan, Riau, dengan kaitan indikasi kejahatan korporasi atau
berkomplot.
Dalam
korupsi penerbitan Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Hutan Tanaman
(IUPHHK-HT) di Pelalawan periode 2001-2006, misalnya, KPK telah menetapkan Gubernur
Riau, HM Rusli Zainal, sebagai tersangkanya. KPK juga menyebut sejumlah pejabat
di Riau lainnya yang menyusul Rusli, seperti
Tengku Azmun Jaafar (eks Bupati Pelalawan), Arwin As (eks Bupati Siak),
Asral Rahman (eks Kepala Dinas Kehutanan Propinsi Riau 2002-2003), Syuhada
Tasman (eks Kepala Dinas Kehutanan Propinsi Riau 2003-2004) dan Burhanuddin
Husin (eks Kepala Dinas Kehutanan Riau 2005-2006). (http://www.republika.co.id/berita/nasional/hukum/13/05/24/mnb90j-kpk-kasus-korupsi-kehutanan-riau-terus-dikembangkan).
Pada
2008, Menteri Kehutanan ketika itu, MS Kaban, pernah diperiksa tim penyidik KPK
dalam kasus dugaan korupsi alih fungsi hutan lindung di Sumatera Selatan menjadi
Pelabuhan Tanjung Api-api. Meski Kaban lolos dari jerat hokum, dua anggota DPR
dan sat pengusaha saat itu menjadi tumbalnya, yakni mantan Ketua Komisi IV DPR,
Yusuf E Faishal; anggota Komisi IV DPR, Sarjan Tahir; dan pengusaha Chandra
Antonio Tan. KPK waktu itu menduga telah terjadi pemberian uang sedikitnya Rp 5
miliar kepada beberapa anggota DPR untuk memperlancar alih fungsi tersebut. Dalam
kasus itu, KPK juga sudah beberapa kali memeriksa mantan Gubernur Sumatera
Selatan, Syahrial Oesman. Dalam surat dakwaan terhadap anggota DPR Sarjan
Tahir, terungkap Syahrial menyetujui dan memerintahkan pemberian uang kepada
sejumlah anggota DPR (http://www.republika.co.id/berita/breaking-news/nasional/08/10/20/8848-kaban-diperiksa-kpk-terkait-alih-fungsi-hutan-lindung).
Kronologis Penyebab
Habisnya Hutan
September
2012 lalu, Menteri Kehutanan (Menhut), Zulkifli Hasan, mengakui adanya
penggundulan masif hutan alam di Sumatera. Kajian komprehensif berdasarkan
citra satelit yang dipublikasikan Environmental Research Letters menemukan
fakta yang mengerikan dari hutan Sumatra yang dulu sangat lebat. Hasil kajian
yang dilakukan tim yang dipimpin Belinda Arunarwati Margono dari South Dakota
State University, Amerika Serikat, bersama Kementerian Kehutanan (Kemenhut)Republik
Indonesia, ini, menyebutkan, hanya delapan persen hutan perawan yang terisisa
di Pulau Sumatra.
Pertumbuhan
hutan berusia tua di Sumatra, menurut kajian tersebut, menyusut sekitar 40
persen dalam kurun 20 tahun terakhir. Sementara
secara keseluruhan hutan di Indonesia sudah musnah sekitar 36 persen. "Secara
umum, Sumatra telah kehilangan 7,5 juta hektare hutan antara 1990 hingga 2010,
dan sekitar 2,6 juta hektare di antaranya adalah hutan primer. Sebagian besar
hutan yang hilang adalah hutan sekunder yang habis akibat penebangan
liar," kata Zulkifli.
Kajian
ini juga menunjukkan fakta bahwa antara 1950-an hingga 1960-an, ekspansi
pertanian untuk areal persawahan dan penebangan hutan skala kecil untuk
ditanami kopi dan karet, menjadi penyebab utama (primer) hilangnya hutan.
Kerusakan menerus di era 1970-an hingga 1990-an, yakni dengan adanya tren operasi
perusahaan kayu skala besar dan hutan tanaman industri. Sementara program
transmigrasi yang didorong pemerintah serta kebakaran hutan antara 1982 hingga
1983 menjadi faktor sekunder. Setelah era 1990-an, perkebunan sawit dan pulp and paper menjadi ancaman utama
deforestasi, menyusul penebangan liar yang dilakukan yang menjadi penyebab
utama degradasi hutan (http://www.republika.co.id/berita/nasional/lingkungan/12/09/16/maeix1-hutan-perawan-di-sumatra-tinggal-delapan-persen).
Terkait
usaha perkebunan sawit telah menjadi faktor dilematis bagi Indonesia. Pasalnya
devisa Indonesia disumbang cukup besar dari sektor ekspor CPO (minyak sawit
mentah) ini. Namun di sisi lain perkebunan sawit telah jelas-jelas menjadi
penyebab berbagai bencana lingkungan termasuk yang ramai diberitakan sepanjang
Juni 2013 ini, yakni polusi asap dari pembakaran lahan perkebunan sawit.
Perkebunan sawit juga telah menjadi ancaman punahnya satwa dilindungi seperti
orangutan dan harimau Sumatra.
LSM
lingkungan, Greenpeace, pernah menyorot perilaku organisasi internasional
produsen kelapa sawit bernama Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO). Juru
kampanye Greenpeace Asia Tenggara, Bustar Maitar, organisasi ini telah melahirkan
sertifikat RSPO yang seolah ramah lingkungan. Sertifikasi RSPO in kata Bustar, memang
menuntut perusahaan mematuhi ketentuan standar mengenai perkebunan, namun tidak
melarang pembukaan hutan bahkan di lahan gambut sekali pun.
Padahal
kata Bustar, lahan gambut merupakan faktor penting dalam memerangi perubahan
iklim.Pembukaan lahan, pengeringan, dan pembakaran hutan-hutan gambut telah
menempatkan Indonesia sebagai penghasil emisi gas rumah kaca terbesar ketiga
dunia. Sementara anggota-anggota RSPO tidak diwajibkan mengubah perilaku
kerjanya. Dengan laju pembabatan dan pembakaran hutan saat ini, lanjut Bustar, hutan
dataran rendah Indonesia akan hilang dalam waktu 15 tahun mendatang (atau 10
tahun lagi jika dihitung mulai 2013, Red).(http://www.republika.co.id/berita/breaking-news/lingkungan/08/11/14/13730-greenpeace-tuduh-rspo-tameng-perusakan-lingkungan).**
Tidak ada komentar:
Posting Komentar