7/04/2013

Hutan Dataran Rendah Habis 2005, Eh Masih Ada Meskipun Kritis



Dalam dua dasawarsa terakhir, kawasan hutan alam di Pulau Sumatra telah berkurang hampir 50 persen. Kini, benteng terakhir keanekaragaman hayati yang ada di Pulau Sumatra, adalah hutan alam yang ada di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, terutama hutan dataran rendahnya. Hutan dataran rendah di Aceh ini kini menjadi satu-satunya tempat di mana empat satwa asli Sumatra berada, yaitu harimau, badak, orang utan, dan gajah.

Hutan dataran rendah tua (mongabay.co.id)
Hal tersebut diungkapkan Direktur World Wild Fund (WWF) Indonesia, Efransjah. Berkurangnya lahan hutan di Indonesia ini kata Efransjah, akibat maraknya praktik korupsi di sektor kehutanan sehingga hutan dikorbankan untuk kepentingan sesaat oleh sejumlah orang.  Tanpa adanya pengelolaan kehutanan yang transparan dan akuntabel, lanjut Efran, dikhawatirkan hutan Aceh ini akan bernasib sama dengan hutan-hutan lain di Sumatra (http://www.republika.co.id/berita/nasional/umum/13/07/04/mpewji-hutan-di-sumatra-tinggal-50-persen).

Hutan dataran rendah adalah hutan yang tumbuh di ketinggian 0-1.200 meter. Hutan dataran rendah Sumatera memiliki keanekaragaman hayati terkaya di dunia (http://id.shvoong.com/exact-sciences/agronomy-agriculture/2136171-hutan-macam-macam-hutan/).  Pada 2003, Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Lampung, Mukri Friatna, sedemikian pesimistisnya sehingga pernah menyatakan bahwa pada 2005 Pulau Sumatra tak kan lagi memiliki hutan alam dataran rendah. Eksploitasi hutan yang cepat, kata Mukri waktu itu, membuat umur hutan alam itu hanya tinggal menghitung hari. “Pemerintah pusat, daerah, pengusaha HPH (hal pengelolaan hutan), industri kertas dan perkebunan besar memiliki andil sebagai penyebab semua itu,” kata Mukri (http://www.tempo.co.id/hg/nusa/sumatera/2003/07/28/brk,20030728-02,id.html).

Modus Korupsi Kehutanan
Ihwal pihak-pihak yang menjadi penyebab habisnya hutan alam seperti yng dikatakan Mukri, saat ini misalnya, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tengah mendalami keterlibatan sejumlah perusahaan kehutanan yang beroperasi di Kabupaten Siak dan Pelalawan, Riau, dengan kaitan indikasi kejahatan korporasi atau berkomplot. 

Dalam korupsi penerbitan Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Hutan Tanaman (IUPHHK-HT) di Pelalawan periode 2001-2006, misalnya, KPK telah menetapkan Gubernur Riau, HM Rusli Zainal, sebagai tersangkanya. KPK juga menyebut sejumlah pejabat di Riau lainnya yang menyusul Rusli, seperti  Tengku Azmun Jaafar (eks Bupati Pelalawan), Arwin As (eks Bupati Siak), Asral Rahman (eks Kepala Dinas Kehutanan Propinsi Riau 2002-2003), Syuhada Tasman (eks Kepala Dinas Kehutanan Propinsi Riau 2003-2004) dan Burhanuddin Husin (eks Kepala Dinas Kehutanan Riau 2005-2006). (http://www.republika.co.id/berita/nasional/hukum/13/05/24/mnb90j-kpk-kasus-korupsi-kehutanan-riau-terus-dikembangkan).

Pada 2008, Menteri Kehutanan ketika itu, MS Kaban, pernah diperiksa tim penyidik KPK dalam kasus dugaan korupsi alih fungsi hutan lindung di Sumatera Selatan menjadi Pelabuhan Tanjung Api-api. Meski Kaban lolos dari jerat hokum, dua anggota DPR dan sat pengusaha saat itu menjadi tumbalnya, yakni mantan Ketua Komisi IV DPR, Yusuf E Faishal; anggota Komisi IV DPR, Sarjan Tahir; dan pengusaha Chandra Antonio Tan. KPK waktu itu menduga telah terjadi pemberian uang sedikitnya Rp 5 miliar kepada beberapa anggota DPR untuk memperlancar alih fungsi tersebut. Dalam kasus itu, KPK juga sudah beberapa kali memeriksa mantan Gubernur Sumatera Selatan, Syahrial Oesman. Dalam surat dakwaan terhadap anggota DPR Sarjan Tahir, terungkap Syahrial menyetujui dan memerintahkan pemberian uang kepada sejumlah anggota DPR (http://www.republika.co.id/berita/breaking-news/nasional/08/10/20/8848-kaban-diperiksa-kpk-terkait-alih-fungsi-hutan-lindung).

Kronologis Penyebab Habisnya Hutan
September 2012 lalu, Menteri Kehutanan (Menhut), Zulkifli Hasan, mengakui adanya penggundulan masif hutan alam di Sumatera. Kajian komprehensif berdasarkan citra satelit yang dipublikasikan Environmental Research Letters menemukan fakta yang mengerikan dari hutan Sumatra yang dulu sangat lebat. Hasil kajian yang dilakukan tim yang dipimpin Belinda Arunarwati Margono dari South Dakota State University, Amerika Serikat, bersama Kementerian Kehutanan (Kemenhut)Republik Indonesia, ini, menyebutkan, hanya delapan persen hutan perawan yang terisisa di Pulau Sumatra.

Pertumbuhan hutan berusia tua di Sumatra, menurut kajian tersebut, menyusut sekitar 40 persen  dalam kurun 20 tahun terakhir. Sementara secara keseluruhan hutan di Indonesia sudah musnah sekitar 36 persen. "Secara umum, Sumatra telah kehilangan 7,5 juta hektare hutan antara 1990 hingga 2010, dan sekitar 2,6 juta hektare di antaranya adalah hutan primer. Sebagian besar hutan yang hilang adalah hutan sekunder yang habis akibat penebangan liar," kata Zulkifli.

Kajian ini juga menunjukkan fakta bahwa antara 1950-an hingga 1960-an, ekspansi pertanian untuk areal persawahan dan penebangan hutan skala kecil untuk ditanami kopi dan karet, menjadi penyebab utama (primer) hilangnya hutan. Kerusakan menerus di era 1970-an hingga 1990-an, yakni dengan adanya tren operasi perusahaan kayu skala besar dan hutan tanaman industri. Sementara program transmigrasi yang didorong pemerintah serta kebakaran hutan antara 1982 hingga 1983 menjadi faktor sekunder. Setelah era 1990-an, perkebunan sawit dan pulp and paper menjadi ancaman utama deforestasi, menyusul penebangan liar yang dilakukan yang menjadi penyebab utama degradasi hutan (http://www.republika.co.id/berita/nasional/lingkungan/12/09/16/maeix1-hutan-perawan-di-sumatra-tinggal-delapan-persen).

Terkait usaha perkebunan sawit telah menjadi faktor dilematis bagi Indonesia. Pasalnya devisa Indonesia disumbang cukup besar dari sektor ekspor CPO (minyak sawit mentah) ini. Namun di sisi lain perkebunan sawit telah jelas-jelas menjadi penyebab berbagai bencana lingkungan termasuk yang ramai diberitakan sepanjang Juni 2013 ini, yakni polusi asap dari pembakaran lahan perkebunan sawit. Perkebunan sawit juga telah menjadi ancaman punahnya satwa dilindungi seperti orangutan dan harimau Sumatra.

LSM lingkungan, Greenpeace, pernah menyorot perilaku organisasi internasional produsen kelapa sawit bernama Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO). Juru kampanye Greenpeace Asia Tenggara, Bustar Maitar, organisasi ini telah melahirkan sertifikat RSPO yang seolah ramah lingkungan. Sertifikasi RSPO in kata Bustar, memang menuntut perusahaan mematuhi ketentuan standar mengenai perkebunan, namun tidak melarang pembukaan hutan bahkan di lahan gambut sekali pun.

Padahal kata Bustar, lahan gambut merupakan faktor penting dalam memerangi perubahan iklim.Pembukaan lahan, pengeringan, dan pembakaran hutan-hutan gambut telah menempatkan Indonesia sebagai penghasil emisi gas rumah kaca terbesar ketiga dunia. Sementara anggota-anggota RSPO tidak diwajibkan mengubah perilaku kerjanya. Dengan laju pembabatan dan pembakaran hutan saat ini, lanjut Bustar, hutan dataran rendah Indonesia akan hilang dalam waktu 15 tahun mendatang (atau 10 tahun lagi jika dihitung mulai 2013, Red).(http://www.republika.co.id/berita/breaking-news/lingkungan/08/11/14/13730-greenpeace-tuduh-rspo-tameng-perusakan-lingkungan).**

Tidak ada komentar:

Posting Komentar