Maraknya
isu spionase belakangan ini, membuat Rusia paranoid. Demi mencegah kebocoran
rahasia negaranya dari penyadapan informasi oleh pihak-pihak yang tak
diinginkan melalui sistem komputerisasi, lembaga negara Rusia yang bertanggung
jawab menjaga komunikasi Kremlin, berniat membeli mesin tik yang lebih manual.
Entah sekedar lelucon atau serius, berbagai kasus pembocoran oleh WikiLeaks dan
yang sekarang ini masih panas bergulir yakni kasus Edward J. Snowden, disebut-sebut
sebagai pemicunya.
Mesin tik jadul? (detik.com) |
Meski
begitu, seorang sumber di Lembaga Garda Federal yang dikenal dengan akronim
nama Rusianya FSO, mengatakan, Kamis (11/7), pembelian ini telah direncanakan
selama lebih dari satu tahun terakhir. Dinyatakan oleh laman lembaga pengadaan
negara Rusia, zakupki.gov.ru, Lembaga
Garda Federal yang juga bertugas melindungi Presiden Rusia, Vladimir Putin,
ini, akan menghabiskan lebih dari 486 ribu rubel (Rp 148 juta) untuk membeli
sejumlah mesin tik listrik.
Pemberitahuan
di laman itu diunggah pekan lalu. Seorang juru bicara untuk lembaga itu menolak
memberi komentar. Surat kabar pro-Kremlin, Izvestia,
melaporkan bahwa lembaga negara itu berniat membeli 20 mesin ketik karena
penggunaan komputer untuk dokumen sangat rahasia tampaknya tidak lagi aman (http://www.republika.co.id/berita/internasional/global/13/07/11/mprzb5-kremlin-kembali-gunakan-mesin-ketik).
Bagaimana
Rusia tidak was-was. Sejak kasus Snowden mengemuka, sejumlah negara disebut-sebut
menjadi sasaran program spionase Amerika Serikat (AS). Apalagi kasus Snowden ini
berkenaan dengan spionase besar-besaran negara adidaya itu yang dikabarkan
memanfaatkan jaringan sejumlah server
tekemuka mulai Google, Facebook, hingga Apple. Selain itu, program bernama
PRISM, besutan badan keamanan nasional AS (NSA)yang dibocorkan Snowden ini,
juga disebut-sebut melakukan penyadapan melalui jaringan telepon, email, dan
sms.
Berdasar
dokumen bocoran mantan pegawai lembaga intelijen AS (CIA) ini ke surat kabar The Guardian, misalnya terungkap bahwa Prancis,
Italia dan Yunani, termasuk di antara 38 sasaran gerakan mata-mata divisi sandi
AS. Menurut salah satu arsip NSA yang bocor tersebut, pejabat sandi menyasar
kedutaan dan kantor Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dengan menanamkan penyadap
di sarana elektronika komunikasi. Mereka, ungkap laporan di laman The Guardian, Minggu (30/6/13), memanfaatkan
kabel dan mengumpulkan komunikasi dengan antena khusus.
Upaya
tersebut juga dilakukan untuk menguping kedutaan Prancis, Italia, dan Yunani,
di Ibukota AS Washington. Sementara Jepang, Meksiko, Korea Selatan, India, dan
Turki, disebut-sebut dokumen tersebut sebagai sasaran penyadapan pada 2010.
Mingguan Jerman Der Spiegel, sebelumnya
juga mengungkapkan bahwa Uni Eropa (UE), adalah salah satu sasaran program
besar mata-mata Internet Washington tersebut, dengan penyadap tersembunyi di kantor
UE di Brussels dan AS.
Menurut
dokumen yang diterima The Guardian, alat penyadap ditanamkan di mesin
fax tersandikan di kedutaan UE di Washington. Penyadapan itu bagian dari
gerakan "Perdido", yang diduga untuk mempelajari perpecahan
di antara negara anggota. Aksi penyadapan terhadap kantor Prancis untuk PBB diberi
kata sandi "Blackfoot", sementara untuk kedutaannya di Washington
dinamai "Wabash". Sedangkan kedutaan Italia di Washington disasar dengan
sandi "Bruneau". UE, Paris, dan Berlin, Minggu (30/6) menanggapi
dengan berang dan menuntut jawaban Washington atas tuduhan memata-matai kantor
badan Eropa itu (http://www.republika.co.id/berita/internasional/global/13/07/01/mp9gql-as-juga-sadap-kantor-kedutaan-prancis-italia-yunani).
Presiden
Prancis, Francois Hollande, telah secara khusus meminta AS berhenti
memata-matai negaranya dan UE. "Kami tidak dapat menerima perilaku semacam
ini di antara mitra dan sekutu," kata Hollande. "Kami minta ini
segera dihentikan." Hollande menyatakan, unsur yang dikumpulkan telah cukup bagi Prancis untuk
meminta penjelasan Washington tentang tuduhan program mata-mata tersebut. "Tidak
akan ada perundingan atau pembicaraan di semua bidang hingga kami memperoleh
jaminan itu, untuk Prancis, juga untuk seluruh Uni Eropa, untuk semua mitra
Amerika Serikat," kata Hollande kepada wartawan (http://www.republika.co.id/berita/internasional/global/13/07/01/mp9m7q-presiden-prancis-minta-as-setop-mematamatai).
Bersamaan
dengan memanasnya hubungan antar negara sekutu tersebut, Menteri Luar Negeri
Ekuador, Ricardo Patino Aroca, mengatakan, selama kunjungannya ke Inggris bulan
lalu, telah ditemukan alat penyadap tersembunyi di kedutaan negaranya di
London. Dalam konferensi pers di ibukota Ekuador, Quito, Patino mengatakan, penyadap
tersebut ditemukan saat pengecekan rutin kedutaan besarnya di Inggris oleh
intelijen Ekuador pada 16 Juni 2013.
"Kami
segera menginvestigasi untuk menemukan sumbernya dan akan merilis hasilnya
besok termasuk sumber alat itu, siapa yang menggunakannya, dan departemen apa
yang memasangnya," ungkap Patino seperti dikutip Al-Jazeera. Dia
berharap, ada negara atau organisasi yang dapat memberi penjelasan mengenai alat
tersebut. Namun, dia membantah hal itu berkaitan dengan program mata-mata AS, PRISM
(http://www.republika.co.id/berita/internasional/global/13/07/04/mpead0-alat-sadap-ditemukan-di-kedutaan-ekuador-di-london).
Dalam dokumen-dokumen PRISM yang dibocorkan Snowden, dikatakan bahwa AS sudah
lama mengintai dan mengumpulkan sejumlah besar data, baik terhadap warga AS
sendiri maupun orang asing.
Jerman Bidikan Utama NSA
Gusar dan
prihatin atas kelakuaan sekutunya ini, terlebih Jerman juga disebut-sebut dalam
dokumen yang bocor tersebut, Kanselir Jerman, Angela Markel, telah meminta
penjelasan Presiden AS, Barack Obama. "Presiden memastikan kepada Kanselir
bahwa Amerika Serikat menanggapi dengan serius keprihatinan sekutu dan partner
mereka di Eropa," tulis siaran pers yang dilansir AFP. Masing-masing pihak dikabarkan akan melakukan pertemuan
lanjutan, baik antara Gedung Putih dengan Jerman, maupun dengan UE (http://www.republika.co.id/berita/internasional/global/13/07/04/mpe7g0-obamamerkel-diskusikan-program-matamata-as-segera-gelar-pertemuan).
Sebelumnya, Der
Spiegel seperti dikutip AFP, mengungkapkan bahwa dinas rahasia AS
telah menyadap setengah miliar panggilan telepon, email, atau sms di Jerman,
dalam sebulan. Metadata, yang menjadi petunjuk kapada dan siapa yang
berkomunikasi, disimpan di markas besar NSA. Dari informasi itu terlihat pada
Desember lalu NSA telah menyadap metadata sekitar 15 juta percakapan telepon
setiap hari, dan sekitar 10 juta komunikasi internet. Pada hari-hari
tertentu, angka ini bahkan lebih besar.
Dibandingkan
Prancis yang menurut Der Spiegel “hanya”
mengalami penyadapan dua juta komunikasi setiap hari, angka penyadapan NSA di
Jerman ini menempatkan Jerman menjadi negara bidikan utama NSA. Jerman pun
bereaksi keras, seolah bercampur trauma jika merujuk pada sejarah kelam
mata-mata dan polisi rahasia di zaman Nazi dan komunis Jerman Timur di era
silam (http://www.republika.co.id/berita/trendtek/internet/13/07/01/mp7xid-as-sadap-ratusan-juta-email-jerman).
Menyadari
namanya juga disebut-sebut dalam dokumen NSA yang bocor tersebut, Turki pada 3
Juli 2013, juga memanggil kepala
perwakilan sementara kedutaan AS di Ankara, Jess Baily. Kementerian Luar Negeri
(Kemenlu) Turki menyatakan, pemanggilan Baily karena duta besar AS sedang tidak
ada di tempat. Langkah tersebut muncul setelah Menteri Luar Negeri Turki, Ahmed
Davutoglu, bertemu dengan Menteri Luar Negeri AS, John Kerry, di sela pertemuan
internasional di Brunei. Kemenlu Turki mengatakan, laporan-laporan di media mengenai
penyadapan terhadap kantor diplomatik Eropa, mencemaskan. Kemenlu menegaskan
akan melakukan evaluasi berdasar jawaban-jawaban dari pihak berwenang AS menyangkut
klaim tersebut (http://www.republika.co.id/berita/internasional/palestina-israel/13/07/03/mpd6gz-turki-panggil-diplomat-as-tuntut-penjelasan-soal-penyadapan).**
Tidak ada komentar:
Posting Komentar