7/11/2013

Freeport Keruk Ribuan Triliun, Beri Royalti 20 Triliunan



"Hatta Rajasa: divestasi saham dan pengurangan lahan-lahan yang dikuasai Freeport telah disetujui.  Begitu pula dengan kenaikan royalti yang nantinya sebagian akan dibagi dengan pemerintah daerah”

Bicara kontrak karya dengan perusahaan pertambangan asing, khususnya PT Freeport, selalu dikaitkan dengan kedaulatan republik ini yang tergadaikan. Setelah mulur hampir setahun lebih, dengan dibumbui isu bahwa Freeport sempat dikabarkan tak bersedia melakukan renegosiasi, akhirnya perusahaan asal Amerika Serikat (AS) ini bisa digiring juga untuk melakukan negosiasi ulang. Renegosiasi ini diharapkan bisa lebih berpihak pada negeri sang pemilik lokasi tambang, meskipun gunung kadung sudah jadi jurang, dan jurang menjadi gunung. Royalti tidak boleh lagi hanya 1 persen.

Gunung emas ini telah menjadi kolam (ROL)
Renegosiasi kontrak karya antara pemerintah Indonesia dan Freeport  ini akan membahas enam isu utama  renegosiasi, yakni: luas wilayah, perpanjangan kontrak, penerimaan negara termasuk royalti, kewajiban pengolahan dan pemurnian atau smelter, kewajiban divestasi, kewajiban penggunaan barang dan jasa pertambangan dalam negeri. Pembahasan dilakukan dalam rapat kerja antara Tim Pemantau Otonomi Khusus Papua DPR, Pemerintah Pusat, dan Pemerintah Daerah (pemda)Papua dan Papua Barat, di Kompleks Parlemen Senayan, Jumat (5/7). 

"Salah satunya (yang dibahas), saat ini Freeport  baru melakukan pemrosesan terhadap tembaga dan emas sekian persen di sini. Kita inginnya 100 persen di tanah air kita.  Karena itu perintah undang-undang dan ini salah satu bagian dari pembicaraan," ujar Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Hatta Rajasa, yang juga Ketua Tim Negosiasi Kontrak Karya Freeport. Menurut Hatta, pembicaraan terkait aspek-aspek lainnya sudah mengalami banyak sekali kemajuan. 

Divestasi saham dan pengurangan lahan-lahan yang dikuasai Freeport, kata Hatta, semuanya telah disetujui.  Begitu pula dengan kenaikan royalti yang nantinya sebagian akan dibagi dengan pemerintah daerah.  "Semua pembicaraan ini sedang berlangsung," kata Hatta.  Khusus untuk divestasi, Hatta menyebut Freeport telah memberikan lampu hijau.  "Termasuk IPO di Tanah Air kita dan itu memang kita minta.  Tentu itu adalah kepada Papua dan ini memang spirit kita," ujar Hatta (http://www.republika.co.id/berita/ekonomi/bisnis/13/07/06/mphzhh-renegosiasi-kontrak-karya-freeport-masih-berlangsung).

Namun Hatta tidak menyebut berapa kenaikan royalti yang dimaksud.  Selama ini, kewajiban royalti PT Freeport Indonesia (Freeport) kepada Indonesia sangat kecil, yakni hanya satu persen. DPR pernah mengusulkan agar royalti Freeport di atas empat persen. "Kita inginkan empat persen, bahkan lebih," kata Anggota Komisi Energi DPR, Satya W Yudha, Februari tahun lalu. Freeport, menurutnya, sudah mulai menyadari mereka ingin berinvestasi jangka panjang di Indonesia. Namun, negara tak mungkin rela dininabobokan dengan janji-janji palsu. Satya menegaskan harus ada hitam di atas putih.

Pada 2010, dalam rilisnya, Freeport mengaku sudah melakukan investasi lebih dari 137 juta dolar AS untuk berbagai program berkelanjutan. Sebanyak 64 juta dolar AS di antaranya didedikasikan bagi komunitas lokal Papua melalui dana kemitraan bagi pengembangan masyarakat. Freeport juga mempekerjakan sekitar 22 ribu karyawan di Papua. Sebanyak 98 persennya adalah WNI, dengan 28 persen dari jumlah tersebut adalah karyawan asal Papua. Freeport mengaku sudah membayarkan pajak, royalti, dan dividen selama 2011 mencapai 2,4 miliar dolar AS atau setara Rp 21,66 triliun (jika kurs mata uang yang berlaku Rp 9.025 per dolar AS). "Jika berdasarkan kontrak karya 1992, jumlah totalnya lebih dari 13,4 miliar dolar AS," kata juru bicara PT. Freeport Indonesia, Ramdani Sirait.

Cuma 1 Persen? Terlalu
Namun menurut pengamat pertambangan dan perminyakan dari Center for Petroleum Economics Studies (CPES), Kurtubi, jumlah tersebut sangat kecil jika dibanding ribuan triliun yang telah dikeruk Freeport dari kekayaan alam Indonesia di Papua. Karena itu Kurtubi menilai royalti satu persen sangat keterlaluan. "Seluruh rakyat Indonesia pasti menilai itu sangat keterlaluan," ujarnya.

Kurtubi memaparkan, royalti emas yang berlaku di Indonesia adalah sekitar 3,75 persen, sedangkan tembaga sekitar empat persen. Dengan memakai ketentuan ini saja, kata Kurtubi, royalti 1 persen benar-benar tak pantas. Persentase 3,75 persen itu jelas Kurtubi, flat tanpa mengikuti perkembangan harga emas di dalam negeri yang sudah terbilang tinggi (http://www.republika.co.id/berita/ekonomi/makro/12/02/22/lzs3ea-royalti-freeport-minimal-empat-persen).

Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW), Firdaus Ilyas, me­nilai, pemerintah tidak tegas me­lakukan renegosiasi kontrak karya. Bahkan, terkesan takut pada perusahaan tambang asing. “Sampai saat ini Freeport saja belum mau me­nyetujui rene­gosiasi terutama soal kenaikan ro­yalti,” katanya. Berdasarkan penelitian ICW, pada 2002 sampai 2010 terja­di kekurangan pembayaran ro­yalti oleh Freeport kepada ne­gara senilai 176,8 juta dolar AS atau se­tara dengan Rp 1,591 tri­liun. Firdaus mengaku, sudah mela­porkan kekurangan pem­bayaran royalti tersebut kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan saat ini laporannya sedang diteliti lembaga anti korupsi itu (http://ekbis.rmol.co/read/2013/03/16/102485/Payah,-Renegosiasi-Kontrak-Karya-Freeport-Lelet-Banget-).

Staf Khusus Presiden Bidang Pembangunan Daerah dan Otonomi Daerah, Velix Wanggai, pernah menyampaikan bahwa saat ini Presiden SBY tengah berkomitmen menata ulang berbagai kontrak karya pertambangan yang tak adil dan merugikan negara dan rakyat. Presiden kata Velix, telah menegaskan bahwa renegosiasi ini diprioritaskan ke kontrak karya PT Freeport (http://www.riaupos.co/berita.php?act=full&id=3986).

Lambat, Ada Apa?
Sementara itu, Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia (UI), Hik­mahanto Juwono, malah meminta peme­rintah tidak meneruskan per­panjangan kontrak karya dengan Freeport. “Kalau tidak bisa renegosiasi, ya sudah tidak perlu diperpanjang,” ujarnya. Dia mencium adanya kepen­tingan politik dan tekanan yang menyebabkan pemerintah lambat melakukan renegosiasi kontrak karya perusahaan asal AS itu (http://ekbis.rmol.co/read/2013/03/16/102485/Payah,-Renegosiasi-Kontrak-Karya-Freeport-Lelet-Banget-).

Pada Agustus 2012 diberitakan bahwa proses renegosiasi kontrak antara pemerintah dan PT Freeport sepertinya masih akan berlangsung lama. Meski bos Freeport McMoran datang khusus ke Indonesia pertengahan Agustus 2012 untuk menemui Hatta Rajasa, Kementerian ESDM mengaku belum ada poin berarti yang tercapai antara Freeport Indonesia dan pemerintah. Ketika itu Dirjen Mineral dan Batubara (Minerba), Thamrin Sihite, mengaku, dari enam poin renegosiasi yang dibahas tersebut, baru satu isu yang hampir menemui kejelasan, yakni tentang pembangunan pabrik pengolahan dan pemurnian (http://www.republika.co.id/berita/nasional/umum/12/08/30/m9k3hp-renegosiasi-kontrak-freeport-jalan-di-tempat).

Bahkan pada Maret 2012 sempat beredar isu bahwa Freeport menolak melakukan renegosiasi. Direktur Jenderal Mineral dan Batu Bara Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM),Thamrin Sihite, menyatakan, renegosiasi dengan perusahaan tambang di Papua tersebut tak kunjung menemukan titik terang soal besaran royalti yang disepakati. "Kami ingin royalti yang diberikan sebesar-besar bagi kepentingan masyarakat banyak, sesuai dengan udang-undang yang berlaku," ujarnya. Sementara Hatta Rajasa mengatakan, "Yah mereka sudah bersedia," katanya, Selasa (21/2/12), seolah sebelumnya memang menolak renegosiasi.

Namun sebulan kemudian, Menteri ESDM, Jero Wacik, membantahnya. “Semua masih berjalan. Tak ada yang menolak renegosiasi," ujarnya, Senin (12/3/12). Jero bahkan sampai menjamin bahwa Freeport tak akan lari. Dikatakannya, dulu masyarakat di Indonesia mungkin saja menerima apa saja bentuk hak yang dilimpahkan kepadanya. Namun kondisinya saat ini kata Jero, berbeda. Rakyat sudah semakin cerdas. Freeport bersedia melakukan renegosiasi. Pemerintah menginginkan Freeport membayar royalti melebihi 1 persen (http://www.republika.co.id/berita/nasional/umum/12/03/13/m0suib-jero-wacik-tak-ada-perusahaan-tambang-yang-menolak-renegosiasi/http://www.republika.co.id/berita/nasional/umum/12/02/21/lzqn6e-akhirnya-freeport-bersedia-renegoisasi)**

Tidak ada komentar:

Posting Komentar