“Komnas
HAM: kudeta militer yang dilakukan terhadap Presiden Mursi adalah pengkhianatan
demokrasi terbesar abad ini”
Kairo
tersinggung. Sampai-sampai duta besar Turki dipanggil. Pemerintah Mesir prihatin
atas pernyataan Ankara ihwal aksi militer Mesir lengserkan Muhammad Mursi.
Ankara dianggap Kairo terlalu ikut campur tangan urusan dalam negeri Mesir. Senin
(8/7), Menteri Turki Urusan Uni Eropa, Egemen Bagis, mengecam Uni Eropa (UE) yang
tidak berani menyebut apa yang terjadi di Mesir sebagai kudeta militer. Padahal
banyak elemen, termasuk di Indonesia, menganggap apa yang dilakukan militer
Mesir memang merupakan kudeta.
Korban kudeta militer? (ROL) |
Asisten Menteri
Luar Negeri Mesir Urusan Eropa, Hatem Seif, menyampaikan penyesalan mendalam atas sikap Ankara tersebut, yang
dianggap mendorong campur tangan lembaga regional dan internasional dalam
perkembangan terakhir di Mesir.
''Mesir menganggap upaya semacam itu bukan
hanya kekeliruan dalam memahami politik Mesir, tapi juga campur tangan terhadap
urusan dalam negeri Mesir,'' kata Seif, Selasa (9/7), yang dikutip kantor
berita MENA sebagaimana dilaporkan Xinhua yang dipantau Antara
di Jakarta, Rabu (10/7) pagi.
Mesir ingin
Turki mempertimbangkan pendiriannya itu demi kelangsungan hubungan kedua
negara. Sementara itu, Kementerian Luar Negeri di Kairo menyampaikan keinginan
Mesir untuk memelihara hubungan baik dengan negara lain (http://www.republika.co.id/berita/internasional/global/13/07/10/mpp62h-tersinggung-disebut-kudeta-mesir-panggil-dubes-turki).
Pernyataan Egemen
Bagis yang menyinggung Kairo itu diucapkan dalam pertemuan Bagis besama Menteri
Luar Negeri Turki, Ahmet Davutogulu, dengan sejumlah politikus asing, antara
lain Menteri Lithuania Urusan Uni Eropa, Linas Linkevicius; Menteri Luar Negeri
Swedia, Carl Bildt; dan Ketua Parlemen Eropa, Martin Schulz. Keduanya juga
melakukan pembicaraan dengan Komisaris UE bagi Perluasan, Stefan Fule; Menteri
Pertahanan Yunani, Dimitris Avramopoulos; dan menteri dari Qatar, Prancis,
Norwegia, Swedia, Marokko, serta Brasil.
Dalam pertemuan
tersebut, mayoritas masyarakat internasional termasuk UE menyerukan kembalinya
secara cepat demokrasi di Mesir setelah penggulingan Mursi. ''Namun, mereka
menolak untuk menyebut peristiwa di negeri itu sebagai kudeta militer,'' kata
Bagis (http://www.republika.co.id/berita/internasional/timur-tengah/13/07/09/mpnshn-turki-kecam-sikap-eropa-yang-tak-berani-sebut-kudeta-mesir).
Pernyataan Bagis
ini bagai telah menyamakan suara dengan pernyataan Perdana Menteri Turki, Recep
Tayyip Erdogan, pada Jumat (5/7), yang mengecam Barat karena tidak menyebut
penggulingan itu sebagai kudeta, yang merupakan musuh demokrasi. Dengan merujuk
pada sejarah kudeta negaranya, Erdogan mengatakan bahwa tindakan militer
semacam itu membawa akibat berat. "Kudeta itu jahat. Kudeta mengorbankan
rakyat, masa depan, dan demokrasi. Saya ingin ini diungkapkan oleh semua orang
dengan keberanian. Saya terkejut dengan sikap Barat. Parlemen Eropa mengabaikan
nilai-nilainya sendiri dengan tidak menyebut intervensi militer di Mesir sebagai
kudeta. Ini adalah tes ketulusan (untuk menyebut “kudeta”) dan Barat telah
gagal,” ujarnya.
Hindari Istilah “Kudeta”
Baik
pemerintahan UE di Brussels dan Washington sejauh ini memang menahan diri dan tidak
menyebut penggulingan Muhammad Mursi sebagai kudeta. Sekutu-sekutu regional
penting Ankara juga tampaknya mengambil pendekatan hati-hati. Arab Saudi dan
Qatar malah telah mengucapkan selamat kepada Presiden Mesir sementara yang baru
diangkat, Adly Mansour.
Atas sikap Turki ini, pengamat mengatakan, pelengseran Mursi memberi implikasi diplomatik yang signifikan bagi Turki. Kolumnis diplomatik dari harian Turki, Milliyet, Kadri Gursel, mengatakan, Erdogan melihat akar Islamis Mursi yang kuat sebagai investasi yang baik secara politik, yang dapat memberi kedua negara pengaruh diplomatik yang lebih luas di seluruh kawasan. Dengan tersingkirnya Mursi, kata Gursel, sama saja menghancurkan harapan bagi rencana kunjungan Erdogan ke Gaza.
Atas sikap Turki ini, pengamat mengatakan, pelengseran Mursi memberi implikasi diplomatik yang signifikan bagi Turki. Kolumnis diplomatik dari harian Turki, Milliyet, Kadri Gursel, mengatakan, Erdogan melihat akar Islamis Mursi yang kuat sebagai investasi yang baik secara politik, yang dapat memberi kedua negara pengaruh diplomatik yang lebih luas di seluruh kawasan. Dengan tersingkirnya Mursi, kata Gursel, sama saja menghancurkan harapan bagi rencana kunjungan Erdogan ke Gaza.
"Erdogan
tidak akan pergi ke Gaza dalam jangka waktu yang tidak terbatas. Karena dengan
kondisi ini ia tidak bisa pergi ke Gaza melalui Gerbang Rafa. Tidak akan ada
sambutan baginya di Mesir. Dia tidak bisa pergi ke Mesir yang dikuasai militer.
Itu mustahil,” ujarnya (http://www.republika.co.id/berita/internasional/timur-tengah/13/07/06/mpibwk-pm-turki-kecam-kudeta-militer-di-mesir).
Iran juga termasuk
negara tetangga Mesir yang mengecam penggulingan pemerintahan Mursi yang berorientasi
Islam ini. Kementerian Luar Negeri Iran lantas menyeru rakyat Mesir agar
berhati-hati terhadap kemungkinan adanya campur tangan Zionisme. Juru bicara
Kementerian Luar Negeri Iran, Abbas Araqchi, mengatakan kepada kantor berita
Iran, IRNA, bahwa demokrasi jalanan tidak sejalan dengan proses demokrasi yang
diharapkan. Aksi militer Mesir juga, kata Abbas, bukan cara yang layak untuk menggulingkan
pemerintahan yang telah memperoleh wewenang melalui pemilihan umum. Keutuhan
wilayah, solidaritas, perdamaian, dan kestabilan Mesir sebagai salah satu
negara paling penting di dunia Islam, lanjut Abbas, sangat penting bagi Iran (http://www.republika.co.id/berita/internasional/timur-tengah/13/07/08/mplnro-iran-kecam-kudeta-mesir).
Sementara itu,
meski Gedung Putih menghindari penggunaan istilah kudeta militer dalam kasus
Mesir, senator dari Partai Republik—yang merupakan oposan Parai Demokrat yang
kini menguasai Gedung Putih—John McCain, memiliki pandangan berbeda. Dia bahkan
mengusulkan Washington untuk menangguhkan bantuan militer AS. Alasan McCain, militer
Mesir telah menjungkirbalikkan “keputusan” rakyat Mesir (melalui Pemilu Juni 2012).
“Kita tidak dapat mengulangi kesalahan-kesalahan yang sama yang kita buat pada
waktu lalu dalam sejarah kita dengan mendukung pemecatan pemerintah-pemerintah
yang dipilih secara bebas (oleh rakyat)," kata kandidat presiden AS 2008
itu.
Undang-Undang AS menetapkan, semua
bantuan militer dan ekonomi ditangguhkan apabila satu pemerintah digulingkan
oleh militer. Namun Presiden AS, Barrack Obama, sejauh ini hanya menyatakan “kekhawatiran
yang dalam" atas kejadian-kejadian itu, tanpa menyebut istilah kudeta. AS
memberikan bantuan militer sekitar 1,3 miliar dolar setiap tahun kepada militer
Mesir (http://www.republika.co.id/berita/internasional/timur-tengah/13/07/07/mpkkoo-militer-kudeta-mursi-john-mccain-tangguhkan-bantuan-untuk-mesir).
Pengkhianatan Demokrasi Terbesar Abad Ini
Sementara itu,
berbagai elemen dari berbagai negara tampak lebih tegas menyatakan aksi militer
Mesir melengserkan Mursi pada Juni lalu sebagai “kudeta”. Komisi Nasional Hak
Asasi Manusia Republik Indonesia (Komnas HAM RI), mengimbau masyarakat dunia
untuk mengutuk keras kudeta militer terhadap pemerintahan yang sah dan
berdaulat di Mesir. Komisioner Komnas HAM RI, Maneger Nasution, menilai kudeta
militer yang berlangsung di Mesir adalah pengkhianatan terhadap nilai demokrasi
yang telah menjadi norma secara universal.
''Saya
menyayangkan standard ganda PBB melalui sekjen-nya soal kudeta di Mesir. Ban Ki
Moon ‘membiarkan’ kudeta di Mesir dan melihatnya sebagai bentuk pengungkapan
kebebasan bersuara. Berbeda sekali saat kudeta militer di Niger (2010), Uni
Eropa, AS, dan Prancis menghimbau Niger dengan selekasnya memulihkan tata
tertib UUD,'' ungkap Manager, Senin (8/7).
Negara-negara Barat juga kata Maneger, setali tiga uang. Di satu sisi
mengagungkan demokrasi, namun pada kasus Mesir hanya diam seribu bahasa. “Ada
apa ini sebenarnya?”
Karenanya Komnas
HAM berharap Presiden RI memberikan (lagi) sikap lebih lugas lagi soal krisis
Mesir ini, karena fatsun politik Indonesia adalah bebas aktif. Indonesia
harus berperan aktif dalam menciptakan ketertiban dunia sesuai amanah UUD 1945
(http://www.republika.co.id/berita/internasional/timur-tengah/13/07/08/mplk0b-komnas-ham-ri-imbau-dunia-kutuk-kudeta-militer-di-mesir).
Maneger menilai, kudeta militer yang dilakukan terhadap Presiden Mursi adalah
kejahatan kemanusiaan dan sebagai pengkhianatan demokrasi terbesar abad ini (http://www.republika.co.id/berita/internasional/timur-tengah/13/07/08/mplixy-komnas-ham-ri-kudeta-mesir-kejahatan-kemanusiaan).
Kolomnis The
Guardian, Jonathan Steele, juga menyatakan kudeta militer Mesir akan
menjadi bencana bagi masa depan Mesir. Militer yang tampaknya mundur dari
politik setelah lengsernya Husni Mubarak pada Februari 2011 telah kembali
melangkah ke arena kekuasaan. Menurut Steele, menolak hasil pemilihan yang
bebas dan adil serta mengesampingkan hukum negara merupakan langkah yang seharusnya
tidak diambil militer (http://www.republika.co.id/berita/internasional/global/13/07/05/mpgmyt-kudeta-militer-mesir-akan-menjadi-bencana-di-masa-depan).
Beberapa
kelompok Islam dan partai-partai di Malaysia, bahkan turun ke jalanan Kuala
Lumpur untuk memrotes dan mengutuk kudeta terhadap Mursi. Kelompok-kelompok, yang
terdiri dari Organisasi non-pemerintah dan oposisi Partai Islam Pan-Malaysia
serta Partai Keadilan Rakyat (PKR), mendesak tentara Mesir untuk
"menghentikan segera semua bentuk kekejaman dan pembunuhan pada
orang-orang Mesir" serta mengembalikan kekuasaan kepada Mursi (http://www.republika.co.id/berita/internasional/asean/13/07/10/mppkl6-organisasi-islam-di-malaysia-kutuk-kudeta-militer-di-mesir).**
Tidak ada komentar:
Posting Komentar