7/10/2013

Kairo Tersinggung Aksi Pelengseran Mursi Dianggap Kudeta



“Komnas HAM: kudeta militer yang dilakukan terhadap Presiden Mursi adalah pengkhianatan demokrasi terbesar abad ini”

Kairo tersinggung. Sampai-sampai duta besar Turki dipanggil. Pemerintah Mesir prihatin atas pernyataan Ankara ihwal aksi militer Mesir lengserkan Muhammad Mursi. Ankara dianggap Kairo terlalu ikut campur tangan urusan dalam negeri Mesir. Senin (8/7), Menteri Turki Urusan Uni Eropa, Egemen Bagis, mengecam Uni Eropa (UE) yang tidak berani menyebut apa yang terjadi di Mesir sebagai kudeta militer. Padahal banyak elemen, termasuk di Indonesia, menganggap apa yang dilakukan militer Mesir memang merupakan kudeta.

Korban kudeta militer? (ROL)
Asisten Menteri Luar Negeri Mesir Urusan Eropa, Hatem Seif, menyampaikan penyesalan  mendalam atas sikap Ankara tersebut, yang dianggap mendorong campur tangan lembaga regional dan internasional dalam perkembangan terakhir di Mesir. 

''Mesir menganggap upaya semacam itu bukan hanya kekeliruan dalam memahami politik Mesir, tapi juga campur tangan terhadap urusan dalam negeri Mesir,'' kata Seif, Selasa (9/7), yang dikutip kantor berita MENA sebagaimana dilaporkan Xinhua yang dipantau Antara di Jakarta, Rabu (10/7) pagi.

Mesir ingin Turki mempertimbangkan pendiriannya itu demi kelangsungan hubungan kedua negara. Sementara itu, Kementerian Luar Negeri di Kairo menyampaikan keinginan Mesir untuk memelihara hubungan baik dengan negara lain (http://www.republika.co.id/berita/internasional/global/13/07/10/mpp62h-tersinggung-disebut-kudeta-mesir-panggil-dubes-turki).

Pernyataan Egemen Bagis yang menyinggung Kairo itu diucapkan dalam pertemuan Bagis besama Menteri Luar Negeri Turki, Ahmet Davutogulu, dengan sejumlah politikus asing, antara lain Menteri Lithuania Urusan Uni Eropa, Linas Linkevicius; Menteri Luar Negeri Swedia, Carl Bildt; dan Ketua Parlemen Eropa, Martin Schulz. Keduanya juga melakukan pembicaraan dengan Komisaris UE bagi Perluasan, Stefan Fule; Menteri Pertahanan Yunani, Dimitris Avramopoulos; dan menteri dari Qatar, Prancis, Norwegia, Swedia, Marokko, serta Brasil.

Dalam pertemuan tersebut, mayoritas masyarakat internasional termasuk UE menyerukan kembalinya secara cepat demokrasi di Mesir setelah penggulingan Mursi. ''Namun, mereka menolak untuk menyebut peristiwa di negeri itu sebagai kudeta militer,'' kata Bagis (http://www.republika.co.id/berita/internasional/timur-tengah/13/07/09/mpnshn-turki-kecam-sikap-eropa-yang-tak-berani-sebut-kudeta-mesir).

Pernyataan Bagis ini bagai telah menyamakan suara dengan pernyataan Perdana Menteri Turki, Recep Tayyip Erdogan, pada Jumat (5/7), yang mengecam Barat karena tidak menyebut penggulingan itu sebagai kudeta, yang merupakan musuh demokrasi. Dengan merujuk pada sejarah kudeta negaranya, Erdogan mengatakan bahwa tindakan militer semacam itu membawa akibat berat. "Kudeta itu jahat. Kudeta mengorbankan rakyat, masa depan, dan demokrasi. Saya ingin ini diungkapkan oleh semua orang dengan keberanian. Saya terkejut dengan sikap Barat. Parlemen Eropa mengabaikan nilai-nilainya sendiri dengan tidak menyebut intervensi militer di Mesir sebagai kudeta. Ini adalah tes ketulusan (untuk menyebut “kudeta”) dan Barat telah gagal,” ujarnya.

Hindari Istilah “Kudeta”
Baik pemerintahan UE di Brussels dan Washington sejauh ini memang menahan diri dan tidak menyebut penggulingan Muhammad Mursi sebagai kudeta. Sekutu-sekutu regional penting Ankara juga tampaknya mengambil pendekatan hati-hati. Arab Saudi dan Qatar malah telah mengucapkan selamat kepada Presiden Mesir sementara yang baru diangkat, Adly Mansour.
Atas sikap Turki ini, pengamat mengatakan, pelengseran Mursi memberi implikasi diplomatik yang signifikan bagi Turki. Kolumnis diplomatik dari harian Turki, Milliyet, Kadri Gursel, mengatakan, Erdogan melihat akar Islamis Mursi yang kuat sebagai investasi yang baik secara politik, yang dapat memberi kedua negara pengaruh diplomatik yang lebih luas di seluruh kawasan. Dengan tersingkirnya Mursi, kata Gursel, sama saja menghancurkan harapan bagi rencana kunjungan Erdogan ke Gaza.

"Erdogan tidak akan pergi ke Gaza dalam jangka waktu yang tidak terbatas. Karena dengan kondisi ini ia tidak bisa pergi ke Gaza melalui Gerbang Rafa. Tidak akan ada sambutan baginya di Mesir. Dia tidak bisa pergi ke Mesir yang dikuasai militer. Itu mustahil,” ujarnya (http://www.republika.co.id/berita/internasional/timur-tengah/13/07/06/mpibwk-pm-turki-kecam-kudeta-militer-di-mesir).

Iran juga termasuk negara tetangga Mesir yang mengecam penggulingan pemerintahan Mursi yang berorientasi Islam ini. Kementerian Luar Negeri Iran lantas menyeru rakyat Mesir agar berhati-hati terhadap kemungkinan adanya campur tangan Zionisme. Juru bicara Kementerian Luar Negeri Iran, Abbas Araqchi, mengatakan kepada kantor berita Iran, IRNA, bahwa demokrasi jalanan tidak sejalan dengan proses demokrasi yang diharapkan. Aksi militer Mesir juga, kata Abbas, bukan cara yang layak untuk menggulingkan pemerintahan yang telah memperoleh wewenang melalui pemilihan umum. Keutuhan wilayah, solidaritas, perdamaian, dan kestabilan Mesir sebagai salah satu negara paling penting di dunia Islam, lanjut Abbas, sangat penting bagi Iran (http://www.republika.co.id/berita/internasional/timur-tengah/13/07/08/mplnro-iran-kecam-kudeta-mesir).

Sementara itu, meski Gedung Putih menghindari penggunaan istilah kudeta militer dalam kasus Mesir, senator dari Partai Republik—yang merupakan oposan Parai Demokrat yang kini menguasai Gedung Putih—John McCain, memiliki pandangan berbeda. Dia bahkan mengusulkan Washington untuk menangguhkan bantuan militer AS. Alasan McCain, militer Mesir telah menjungkirbalikkan “keputusan” rakyat Mesir (melalui Pemilu Juni 2012). “Kita tidak dapat mengulangi kesalahan-kesalahan yang sama yang kita buat pada waktu lalu dalam sejarah kita dengan mendukung pemecatan pemerintah-pemerintah yang dipilih secara bebas (oleh rakyat)," kata kandidat presiden AS 2008 itu.

Undang-Undang AS menetapkan, semua bantuan militer dan ekonomi ditangguhkan apabila satu pemerintah digulingkan oleh militer. Namun Presiden AS, Barrack Obama, sejauh ini hanya menyatakan “kekhawatiran yang dalam" atas kejadian-kejadian itu, tanpa menyebut istilah kudeta. AS memberikan bantuan militer sekitar 1,3 miliar dolar setiap tahun kepada militer Mesir (http://www.republika.co.id/berita/internasional/timur-tengah/13/07/07/mpkkoo-militer-kudeta-mursi-john-mccain-tangguhkan-bantuan-untuk-mesir).

Pengkhianatan Demokrasi Terbesar Abad Ini
Sementara itu, berbagai elemen dari berbagai negara tampak lebih tegas menyatakan aksi militer Mesir melengserkan Mursi pada Juni lalu sebagai “kudeta”. Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Republik Indonesia (Komnas HAM RI), mengimbau masyarakat dunia untuk mengutuk keras kudeta militer terhadap pemerintahan yang sah dan berdaulat di Mesir. Komisioner Komnas HAM RI, Maneger Nasution, menilai kudeta militer yang berlangsung di Mesir adalah pengkhianatan terhadap nilai demokrasi yang telah menjadi norma secara universal.

''Saya menyayangkan standard ganda PBB melalui sekjen-nya soal kudeta di Mesir. Ban Ki Moon ‘membiarkan’ kudeta di Mesir dan melihatnya sebagai bentuk pengungkapan kebebasan bersuara. Berbeda sekali saat kudeta militer di Niger (2010), Uni Eropa,  AS, dan Prancis menghimbau Niger dengan selekasnya memulihkan tata tertib UUD,'' ungkap Manager, Senin (8/7).  Negara-negara Barat juga kata Maneger, setali tiga uang. Di satu sisi mengagungkan demokrasi, namun pada kasus Mesir hanya diam seribu bahasa. “Ada apa ini sebenarnya?”

Karenanya Komnas HAM berharap Presiden RI memberikan (lagi) sikap lebih lugas lagi soal krisis Mesir ini, karena fatsun politik Indonesia adalah bebas aktif. Indonesia  harus berperan aktif dalam menciptakan ketertiban dunia sesuai amanah UUD 1945 (http://www.republika.co.id/berita/internasional/timur-tengah/13/07/08/mplk0b-komnas-ham-ri-imbau-dunia-kutuk-kudeta-militer-di-mesir). Maneger menilai, kudeta militer yang dilakukan terhadap Presiden Mursi adalah kejahatan kemanusiaan dan sebagai pengkhianatan demokrasi terbesar abad ini (http://www.republika.co.id/berita/internasional/timur-tengah/13/07/08/mplixy-komnas-ham-ri-kudeta-mesir-kejahatan-kemanusiaan).

Kolomnis The Guardian, Jonathan Steele, juga menyatakan kudeta militer Mesir akan menjadi bencana bagi masa depan Mesir. Militer yang tampaknya mundur dari politik setelah lengsernya Husni Mubarak pada Februari 2011 telah kembali melangkah ke arena kekuasaan. Menurut Steele, menolak hasil pemilihan yang bebas dan adil serta mengesampingkan hukum negara merupakan langkah yang seharusnya tidak diambil militer (http://www.republika.co.id/berita/internasional/global/13/07/05/mpgmyt-kudeta-militer-mesir-akan-menjadi-bencana-di-masa-depan).

Beberapa kelompok Islam dan partai-partai di Malaysia, bahkan turun ke jalanan Kuala Lumpur untuk memrotes dan mengutuk kudeta terhadap Mursi. Kelompok-kelompok, yang terdiri dari Organisasi non-pemerintah dan oposisi Partai Islam Pan-Malaysia serta Partai Keadilan Rakyat (PKR), mendesak tentara Mesir untuk "menghentikan segera semua bentuk kekejaman dan pembunuhan pada orang-orang Mesir" serta mengembalikan kekuasaan kepada Mursi (http://www.republika.co.id/berita/internasional/asean/13/07/10/mppkl6-organisasi-islam-di-malaysia-kutuk-kudeta-militer-di-mesir).**

Tidak ada komentar:

Posting Komentar