7/08/2013

Perbankan Salip BI Rate dengan Naikkan Bunga Deposito


“DPR: Padahal BI (tadinya) berniat akan meningkatkan rasio kredit perbankan terhadap Produk Domestik Bruto Indonesia. Ini yang kami pertanyakan. Di mana komitmen Pak Agus? Belum lama menjabat sudah menaikkan BI rate"

Sebelum BI Rate resmi dinaikkan pada pertengahan Juni lalu, sembilan Bank Pembangunan Daerah (BPD) ternyata sudah menyalip di tikungan dengan menaikkan suku bunganya lebih dulu. Kenaikan BI rate ini jika diterapkan pada suku bunga deposito akan melebarkan senyum para deposan. Namun akan menjadi kabar buruk bagi sektor riil  jika diterapkan pada suku bunga kredit. Ekonom mengatakan, bank melakukan ini karena tidak mau kekurangan likuiditas akibat pelarian dana nasabah ke investasi bidang lain. Akan tetapi, bank diimbau agar tetap menahan suku bunga kreditnya.

ROL
Berdasarkan data suku bunga dasar kredit (SBDK) Mei 2013 yang dipublikasikan Bank Indonesia (BI), sembilan BPD tersebut adalah Bank BJB (Jabar-Banten), BPD Kalimantan Barat, BPD Kalimantan Timur, BPD Kalimantan Selatan, BPD Bali, BPD Riau dan Kepulauan Riau, BPD Papua, BPD Sumatera Utara, dan BPD Aceh. Sementara itu, kelompok bank besar seperti Bank Mandiri, BRI, BCA, CIMB Niaga, dan Bank Mega, masih mempertahankan suku bunga kreditnya (http://www.republika.co.id/berita/ekonomi/keuangan/13/07/08/mplogo-sembilan-bpd-naikkan-bunga-sebelum-pengumuman-bi-rate).

Pada 13 Juni lalu, Bank Indonesia (BI) akhirnya menaikkan suku bunga acuan BI rate sebesar 25 basis poin dari 5,75 persen menjadi 6,00 persen. Langkah ini diambil BI sebagai bagian kebijakan untuk merespon ekspektasi inflasi dan memelihara kestabilan moneter. Gubernur Bank Indonesia (BI) Agus Martowardojo dalam siaran pers di Jakarta, Kamis (13/6) mengatakan, rapat Dewan Gubernur BI memutuskan suku bunga deposit facility dan suku bunga lending facility tetap masing-masing sebesar 4,25 persen dan 6,75 persen (http://www.republika.co.id/berita/ekonomi/keuangan/13/06/13/mobjk7-bi-rate-naik-25-basis-poin). 

Deputi Gubernur Bank Indonesia (BI) Halim Alamsyah menyaebutkan, pihaknya masih memantau bank-bank mana saja yang bereaksi dengan menaikkan suku bunga kredit atau tidak, dengan alasan menjaga pangsa pasarnya. "Atau sebaliknya,  karena ingin mendapatkan sumber dana yang lebih banyak dia menaikkan suku bunga depositonya. Tapi ada juga yang mungkin dua-duanya tidak dilakukan untuk mengurangi marginnya," papar Halim (http://www.republika.co.id/berita/ekonomi/keuangan/13/06/14/modkax-bi-pantau-dampak-bunga-acuan-terhadap-perbankan). 

Ekonom dari Universitas Gajah Mada (UGM), Tony Prasetiantono, menilai, kebijakan BI menaikkan ke angka 6 ini sudah tepat. Jika BI menaikkan suku bunga acuan terlalu besar kata Tony, bisa ditangkap oleh pasar sebagai sikap panik. "Ini bisa meniupkan sentimen negatif ke pasar," ujarnya (http://www.republika.co.id/berita/ekonomi/keuangan/13/06/13/mobt3e-pengamat-kenaikan-bi-rate-sudah-tepat). Namun meskipun BI menetapkan suku bunga deposito tetap, dengan alasan konsumen sudah tidak mau dengan BI rate yang lama, maka sejumlah perbankan juga menaikkan suku bunga depositonya. Tony yang juga Komisaris Utama PT Bank Permata Tbk, mengatakan, ekspektasi inflasi yang telah mencapai 7 persen ketika itu membuat perbankan cemas akan mengalami kekurangan likuiditas. "Konsumen sudah tidak mau dengan BI Rate yang lama. Jadi kasarnya mereka (bank)membuat BI Rate sendiri," ujar Tony, Rabu (3/7).

Tony menilai dana di perbankan lari ke pasar modal, yang tercermin dari naiknya Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG). Selain itu, nasabah juga memakai dana mereka yang sebelumnya disimpan di bank untuk membeli dolar AS (http://www.republika.co.id/berita/ekonomi/keuangan/13/07/03/mpcr0m-bi-rate-diprediksi-naik-lagi). Apalagi dengan tingkat inflasi yang tetap lebih tinggi daripada BI rate, dapat membuat Dana Pihak Ketiga (DPK) perbankan “datar” karena bunga yang tak menarik. Karenanya nasabah lari ke tempat lain.

Menurut catatan Tony, ada satu bank milik investor Singapura yang merekam dana keluar sebesar Rp 4 triliun. Padahal, bank tersebut masuk 10 besar. Menurutnya, hal tersebut menandakan nasabah sudah tidak mau menyimpan dana dengan posisi BI rate yang sama. Bila hal ini berlangsung lama, akan berdampak pada krisis likuiditas perbankan.

Maka dari itu, bank harus menaikkan suku bunga deposito. Bila tidak, kredit bisa tumbuh jauh lebih kencang daripada DPK. Inilah yang bisa membuat rasio kredit terhadap simpanan atau Loan to Deposit Ratio (LDR) menanjak. Per April 2013, posisi LDR perbankan yakni 84,73%. Ini meningkat dibanding posisi April tahun lalu yaitu 82,48%   (http://www.infovesta.com/infovesta/news/readnews.jsp?id=cc866cd2-e3bb-11e2-99c7-00241deccd15).

Tahan Suku Bunga Kredit
Namun Tony menimbau perbankan tetap menahan suku bunga kreditnya untuk mencegah tingginya kredit macet (NPL/non performing loan). Kenaikan suku bunga kredit juga akan mengganggu pertumbuhan kredit. Bank harus dapat menjaga pertumbuhan kredit di atas 20 persen.  Ia memproyeksikan jika suku bunga kredit naik, pertumbuhan kredit nasional akan berada sedikit di bawah 20 persen. "Kalau mengganggu pertumbuhan kredit, kan pada akhirnya mengganggu pertumbuhan laba," ujar Tony. Perbankan di Indonesia mendapatkan laba dari pertumbuhan kredit karena mayoritas belum memaksimalkan laba dari fee based income (http://www.republika.co.id/berita/ekonomi/keuangan/13/07/03/mpcr0m-bi-rate-diprediksi-naik-lagi).

Kebijakan BI menaikan BI rate antara lain disebabkan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS yang belakangan ini terus memburuk. Dikatakan Tony, kenaikan BI rate cukup diperlukan untuk mengurangi beban biaya intervensi BI terhadap pasar. BI sendiri berdalih bahwa kebijakan tersebut merupakan bagian dari bauran kebijakannya untuk secara pre-emptive merespons meningkatnya ekspektasi inflasi serta memelihara kestabilan makro-ekonomi dan stabilitas sistem keuangan di tengah ketidakpastian di pasar keuangan global (http://www.republika.co.id/berita/ekonomi/keuangan/13/06/13/mobt3e-pengamat-kenaikan-bi-rate-sudah-tepat).

Gubernur BI Ingkar Janji
Sementara itu  Wakil Ketua Komisi XI DPR RI, Harry Azhar Azis, mempertanyakan komitmen Agus Martowardojo untuk memangkas BI rate. Penaikan BI rate ini kata Harry, tidak sesuai janji Agus. “Kami mempertanyakan sikap ini. Saat menjalani fit and proper test, Pak Agus pernah berjanji akan menurunkan BI rate, tetapi ini malah menaikkan," kata Harry, Kamis (13/6) lalu.

Keputusan ini kata Harry,  akan berdampak tidak baik terhadap pertumbuhan ekonomi dan sektor riil, khususnya bagi pertumbuhan kredit perbankan. "Padahal BI berniat akan meningkatkan rasio kredit perbankan terhadap Produk Domestik Bruto Indonesia. Ini yang dipertanyakan, dimana komitmen Pak Agus? Belum lama menjabat sudah menaikkan BI rate," katanya (http://www.republika.co.id/berita/ekonomi/keuangan/13/06/13/moc9ck-legislator-persoalkan-kenaikan-bi-rate). Sektor riil adalah sektor yang perkembangannya sangat tergantung pada kucuran kredit perbankan, termasuk di dalamnya adalah usaha kecil menengah.**

Tidak ada komentar:

Posting Komentar