7/12/2013

Beri Sedekah di Jalanan Depok, Akan Dianggap Tindak Pidana



“Desa di Brebes ini sunyi, karena 75 persen warganya memilih menjadi pengemis di Jakarta. Dari mengemis, mereka bisa memeroleh penghasilan hingga Rp 6 juta sebulan”

Memberi sedekah yang sangat dianjurkan oleh agama, akan menjadi salah jika dilakukan di jalanan Kota Depok, Jawa Barat (Jabar). Pemerintah Kota (Pemkot) Depok bahkan akan menganggap siapapun yang memberi sedekah kepada gelandangan dan pengemis (gepeng) di jalanan sebagai pelaku tindak pidana, meskipun ringan (tipiring). Hal ini ditegaskan Pemkot Depok dengan momentum membludaknya jumlah gepeng di jalanan kota ini memasuki Ramadan 2013. Kota lain tampaknya harus meniru Depok untuk mengatasi penyakit masyarakat ini.

Nggak betul (ROL)
''Mereka yang kedapatan memberi sumbangan atau memberi amal di jalan raya akan kita kenakan sanksi tindak pindana ringan,'' kata Gandara Budiana, Kepala Dinas Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) Kota Depok, Kamis (11/7). Hal itu sesuai dengan Peraturan Daerah (Perda) Kota Depok No.16 tahun 2012 tentang Pengawasan, Pembinaan, Ketertiban Umum. Menurut Gandara, perda sebelumnya hanya memberi sanksi kepada gepeng penerima sumbangan.

Untuk itu, pihaknya sudah melakukan penjagaan di tiga titik sentral. Pertama, lampu merah Ramanda, lampu merah Jalan Tole Iskandar, dan lampu merah Jalan Arif Rahman Hakim. Setiap titik, kata Gandara, dijaga delapan personil Satpol PP. Sedangkan untuk mengatasi masalah di wilayah lainnya, Satpol PP menyiapkan satu tim mobile. Diungkapkan Gandara, gepeng yang beroperasi di Kota Depok saat ini didominasi pemain baru. Wajah-wajah lama justru sudah tidak tampak di jalanan. Mereka masuk ke Kota Depok tiga hari menjelang puasa. 

''Kebiasaan masyarakat berbuat baik di bulan suci Ramadan menjadi pemicu tingginya mobilitas gepeng ke Kota Depok, terutama saat sore dan malam hari. Kalau ini dibiarkan, bisa bahaya. Depok bisa menjadi kota tujuan gepeng,'' ujarnya. Gandara menyarankan, warga yang ingin beramal sebaiknya menyalurkan harta mereka melalui lembaga penerima amal dan zakat. Gandara juga mengingatkan, bahwa para gepeng tersebut belum tentu miskin. “Jangan-jangan rumah si penyumbang sama si gepeng, lebih bagus si gepeng,'' ujar Gandara (http://www.republika.co.id/berita/nasional/jabodetabek-nasional/13/07/12/mpsk5y-di-depok-memberi-sedekah-di-jalan-raya-dipidanakan).

Sementara itu, DKI Jakarta seperti disampaikan Wakil Gubernurnya, Basuki Tjahaja Purnama (Ahok), mengimbau warga untuk tidak pernah memberikan sedekah langsung ke anak jalanan. Jika memang melihat anak-anak mengemis, ia meminta segera dilaporkan ke Pemprov DKI. "Nanti akan kita urus dengan program pendekatan khusus dari para aktivis dan Dinas Sosial,” ujar Ahok seraya mengingatkan Satpol PP dan Dinsos agar tidak boleh menangkapi anak jalanan. “Karena kalau dia lari, panik, ketabrak, bisa mati," tandasnya.

Menurut Ahok, memberi uang kepada anak yang mengemis berarti mengajarkan kemalasan kepada mereka. Dengan kemudahan mendapatkan uang, para anak-anak jalanan tidak akan mau bersekolah. "Mereka sudah merasa enak dapat duit tinggal mengemis bisa memperoleh Rp 150 ribu sehari. Pernah kita pekerjakan anak jalanan di KBN dengan gaji Rp 67 ribu sehari, mereka tidak mau. Padahal resmi," tukasnya. Hal ini disampaikan Ahok saat berdialog dengan perwakilan anak-anak dari 39 kabupaten se-Indonesia (http://www.republika.co.id/berita/nasional/jabodetabek-nasional/13/06/30/mp6y65-ini-alasan-ahok-mengimbau-tidak-beri-sedekah-pada-pengemis).

Industri Belas Kasihan
Ihwal pengemis kaya, belakangan ini memang semakin menguak. Bisnis belas kasihan ini bagai mengindustri. Di jalanan di kota-kota besar, sudah tidak aneh melihat pengemis bergerombol sambil menenteng ponsel. Seorang pengemis yang mengandalkan belas kasihan orang dari ketunanetraannya, mengaku sering pulang menggunakan jasa taksi. Ini memperlihatkan, betapa penghasilannya sebagai pengemis cukup besar untuk membayar taksi.

Adalah Asep alias Iyong, pengemis buta yang biasa beroperasi di Pasar Baru, Jakarta. Mengandalkan banyaknya warga yang bersedekah saat Ramadan, Asep mengaku bakal lebih giat mengemis pada Ramadhan kali ini. Jam kerja pun ditingkatkan mulai pukul 11 siang hingga 11 malam. "Alhamdulillah saya belum pernah kena operasi Pol PP. Pak RT dan RW juga gak pernah usil" ungkap Asep, saat ditemui ROL, di Menteng, Jakarta, Selasa (9/7). Asep  tinggal di daerah Pasar Senen, Jakarta. Setiap hari, ia berjalan kaki  ke tempat dinasnya di kawasan Pasar Baru. Jika jam sudah menunjukkan pukul 11 malam, ia akan pulang.

Karena kocek sudah tebal, Asep bisa pulang menggunakan taksi. Kadang supir taksi tak mau terima bayaran karena Asep tunanetra. Dalam sehari, ia bisa mendapatkan uang rata-rata Rp 60.000, atau setara Rp 1,7 juta sebulan. Menurut Asep, sebelum buta karena mengalami kecelakaan ditabrak truk saat mengendarai motor pada 1996, ia adalah supir dan teknisi bajai. Sejak buta, dia terpaksa meninggalkan profesinya itu (http://www.republika.co.id/berita/nasional/jabodetabek-nasional/13/07/09/mpof6z-usai-mengemis-pria-ini-pulang-dengan-taksi).

Asep boleh “bermodalkan” keterbatasan fisik yang sebenarnya, namun kenyataannya banyak gepeng yang sehat namun berdandan seolah cacat. Sementara anak-anak didandani dengan pakaian compang-camping, dan pengemis perempuan berpura-pura hamil. Semuanya untuk mengundang iba warga. Miftahul Huda, Kepala Seksi Rehabilitasi Suku Dinas Sosial Jakarta Selatan, seperti dilansir situs beritajakarta, mengatakan, dari pengaduan masyarakat, banyak wanita “hamil” yang mengemis di perempatan dan pinggir jalan. “Makanya kita sebar petugas untuk menertibkannya," ujar Miftahul.

Menurut Miftahul, modus ini banyak dipakai pengemis di sekitar kawasan Mampangprapatan. Mereka berdandan seolah-olah sedang hamil tua. "Alasannya itu untuk biaya melahirkan, karena sudah masuk bulannya," kata Miftahul. Selain sebagai wanita hamil, ungkap Miftahul, ada yang mendorong nenek sakit, bahkan ada yang berpura-pura buta (http://www.republika.co.id/berita/nasional/umum/13/06/25/moy9ql-wow-pengemis-sekarang-makin-canggih-menyamar). Segala cara mereka lakukan karena mereka tahu, penghasilan dari mengemis bisa melebihi gaji seorang sarjana baru lulus yang baru bekerja. Asep mungkin tidak jujur dengan jumlah penghasilannya, karena pengemis ternyata rata-rata bahkan bisa memeroleh penghasilan hingga di atas Rp 100 ribu, terlebih di bulan Ramadan.

Kecemasan Ahok beralasan. Sapnah Yunita (12 tahun) misalnya, mengaku mampu memperoleh penghasilan hingga Rp 100 ribu per hari dari meminta-minta. Pengemis cilik asal Citayam, Bogor yang mengaku hanya mengemis pada bulan Ramadan ini datang ke Masjid Istiqlal, sejak  siang hari sepulang sekolah sampai menjelang sahur. ''Lebih banyak kalau bulan puasa. Apalagi pertengahan bulan, suka ada dari artis-artis,'' kata Sapnah saat ditemui di Masjid Istiqlal, Selasa (9/7). (http://www.republika.co.id/berita/ramadhan/kabar-ramadhan/13/07/09/mpoa4w-berkah-ramadhan-di-mata-pengemis-musiman).

Apa yang diungkapkan, Ikhsan, ketua RT 07/01 Desa Grinting, Kecamatan Bulakamba, Brebes, Jawa Tengah, lebih mencengangkan. Warganya yang mengemis di Jakarta bisa memeroleh penghasilan hingga Rp 6 juta sebulan. Sontak warganya yang hanya terdiri dari 83 Kepala Keluarga ini, 75 persennya lebih suka merantau ke Jakarta ketimbang menjadi buruh (tani dan bangunan) yang penghasilannya hanya Rp 12-35 ribu per hari. Tak heran jika sehari-hari, suasana desa ini selalu sunyi. "Mereka ada yang jadi pengemis, pemulung, pedagang asongan, dan sebagainya. Sebagian rumah warga di sini yang merantau ke Jakarta memang bagus-bagus," katanya (http://www.republika.co.id/berita/nasional/umum/12/08/11/m8ka35-ini-dia-kampung-penghasil-pengemis-dimanakah-2).**

Tidak ada komentar:

Posting Komentar