“Desa
di Brebes ini sunyi, karena 75 persen warganya memilih menjadi pengemis di
Jakarta. Dari mengemis, mereka bisa memeroleh penghasilan hingga Rp 6 juta
sebulan”
Memberi
sedekah yang sangat dianjurkan oleh agama, akan menjadi salah jika dilakukan di
jalanan Kota Depok, Jawa Barat (Jabar). Pemerintah Kota (Pemkot) Depok bahkan
akan menganggap siapapun yang memberi sedekah kepada gelandangan dan pengemis
(gepeng) di jalanan sebagai pelaku tindak pidana, meskipun ringan (tipiring).
Hal ini ditegaskan Pemkot Depok dengan momentum membludaknya jumlah gepeng di
jalanan kota ini memasuki Ramadan 2013. Kota lain tampaknya harus meniru Depok
untuk mengatasi penyakit masyarakat ini.
Nggak betul (ROL) |
''Mereka yang
kedapatan memberi sumbangan atau memberi amal di jalan raya akan kita kenakan
sanksi tindak pindana ringan,'' kata Gandara Budiana, Kepala Dinas Satuan
Polisi Pamong Praja (Satpol PP) Kota Depok, Kamis (11/7). Hal itu sesuai dengan
Peraturan Daerah (Perda) Kota Depok No.16 tahun 2012 tentang Pengawasan,
Pembinaan, Ketertiban Umum. Menurut Gandara, perda sebelumnya hanya memberi
sanksi kepada gepeng penerima sumbangan.
Untuk itu, pihaknya
sudah melakukan penjagaan di tiga titik sentral. Pertama, lampu merah Ramanda,
lampu merah Jalan Tole Iskandar, dan lampu merah Jalan Arif Rahman Hakim. Setiap
titik, kata Gandara, dijaga delapan personil Satpol PP. Sedangkan untuk
mengatasi masalah di wilayah lainnya, Satpol PP menyiapkan satu tim mobile. Diungkapkan Gandara, gepeng yang
beroperasi di Kota Depok saat ini didominasi pemain baru. Wajah-wajah lama
justru sudah tidak tampak di jalanan. Mereka masuk ke Kota Depok tiga hari
menjelang puasa.
''Kebiasaan
masyarakat berbuat baik di bulan suci Ramadan menjadi pemicu tingginya
mobilitas gepeng ke Kota Depok, terutama saat sore dan malam hari. Kalau ini
dibiarkan, bisa bahaya. Depok bisa menjadi kota tujuan gepeng,'' ujarnya. Gandara
menyarankan, warga yang ingin beramal sebaiknya menyalurkan harta mereka
melalui lembaga penerima amal dan zakat. Gandara juga mengingatkan, bahwa para
gepeng tersebut belum tentu miskin. “Jangan-jangan rumah si penyumbang sama si
gepeng, lebih bagus si gepeng,'' ujar Gandara (http://www.republika.co.id/berita/nasional/jabodetabek-nasional/13/07/12/mpsk5y-di-depok-memberi-sedekah-di-jalan-raya-dipidanakan).
Sementara itu,
DKI Jakarta seperti disampaikan Wakil Gubernurnya, Basuki Tjahaja Purnama
(Ahok), mengimbau warga untuk tidak pernah memberikan sedekah langsung ke anak
jalanan. Jika memang melihat anak-anak mengemis, ia meminta segera dilaporkan
ke Pemprov DKI. "Nanti akan kita urus dengan program pendekatan khusus dari
para aktivis dan Dinas Sosial,” ujar Ahok seraya mengingatkan Satpol PP dan
Dinsos agar tidak boleh menangkapi anak jalanan. “Karena kalau dia lari, panik,
ketabrak, bisa mati," tandasnya.
Menurut Ahok, memberi
uang kepada anak yang mengemis berarti mengajarkan kemalasan kepada mereka.
Dengan kemudahan mendapatkan uang, para anak-anak jalanan tidak akan mau bersekolah.
"Mereka sudah merasa enak dapat duit tinggal mengemis bisa memperoleh Rp
150 ribu sehari. Pernah kita pekerjakan anak jalanan di KBN dengan gaji Rp 67
ribu sehari, mereka tidak mau. Padahal resmi," tukasnya. Hal ini
disampaikan Ahok saat berdialog dengan perwakilan anak-anak dari 39 kabupaten
se-Indonesia (http://www.republika.co.id/berita/nasional/jabodetabek-nasional/13/06/30/mp6y65-ini-alasan-ahok-mengimbau-tidak-beri-sedekah-pada-pengemis).
Industri Belas Kasihan
Ihwal pengemis
kaya, belakangan ini memang semakin menguak. Bisnis belas kasihan ini bagai
mengindustri. Di jalanan di kota-kota besar, sudah tidak aneh melihat pengemis
bergerombol sambil menenteng ponsel. Seorang pengemis yang mengandalkan belas
kasihan orang dari ketunanetraannya, mengaku sering pulang menggunakan jasa
taksi. Ini memperlihatkan, betapa penghasilannya sebagai pengemis cukup besar
untuk membayar taksi.
Adalah Asep
alias Iyong, pengemis buta yang biasa beroperasi di Pasar Baru, Jakarta.
Mengandalkan banyaknya warga yang bersedekah saat Ramadan, Asep mengaku bakal
lebih giat mengemis pada Ramadhan kali ini. Jam kerja pun ditingkatkan mulai
pukul 11 siang hingga 11 malam. "Alhamdulillah saya belum pernah kena
operasi Pol PP. Pak RT dan RW juga gak pernah usil" ungkap Asep, saat
ditemui ROL, di Menteng, Jakarta, Selasa (9/7). Asep tinggal di
daerah Pasar Senen, Jakarta. Setiap hari, ia berjalan kaki ke tempat
dinasnya di kawasan Pasar Baru. Jika jam sudah menunjukkan pukul 11 malam, ia
akan pulang.
Karena kocek
sudah tebal, Asep bisa pulang menggunakan taksi. Kadang supir taksi tak mau
terima bayaran karena Asep tunanetra. Dalam sehari, ia bisa mendapatkan uang rata-rata
Rp 60.000, atau setara Rp 1,7 juta sebulan. Menurut Asep, sebelum buta karena mengalami
kecelakaan ditabrak truk saat mengendarai motor pada 1996, ia adalah supir dan
teknisi bajai. Sejak buta, dia terpaksa meninggalkan profesinya itu (http://www.republika.co.id/berita/nasional/jabodetabek-nasional/13/07/09/mpof6z-usai-mengemis-pria-ini-pulang-dengan-taksi).
Asep boleh “bermodalkan”
keterbatasan fisik yang sebenarnya, namun kenyataannya banyak gepeng yang sehat
namun berdandan seolah cacat. Sementara anak-anak didandani dengan pakaian
compang-camping, dan pengemis perempuan berpura-pura hamil. Semuanya untuk
mengundang iba warga. Miftahul
Huda, Kepala Seksi Rehabilitasi Suku Dinas Sosial Jakarta Selatan, seperti
dilansir situs beritajakarta, mengatakan, dari pengaduan masyarakat, banyak
wanita “hamil” yang mengemis di perempatan dan pinggir jalan. “Makanya kita
sebar petugas untuk menertibkannya," ujar Miftahul.
Menurut
Miftahul, modus ini banyak dipakai pengemis di sekitar kawasan Mampangprapatan.
Mereka berdandan seolah-olah sedang hamil tua. "Alasannya itu untuk biaya
melahirkan, karena sudah masuk bulannya," kata Miftahul. Selain sebagai
wanita hamil, ungkap Miftahul, ada yang mendorong nenek sakit, bahkan ada yang
berpura-pura buta (http://www.republika.co.id/berita/nasional/umum/13/06/25/moy9ql-wow-pengemis-sekarang-makin-canggih-menyamar).
Segala cara mereka lakukan karena mereka tahu, penghasilan dari mengemis bisa
melebihi gaji seorang sarjana baru lulus yang baru bekerja. Asep mungkin tidak jujur
dengan jumlah penghasilannya, karena pengemis ternyata rata-rata bahkan bisa
memeroleh penghasilan hingga di atas Rp 100 ribu, terlebih di bulan Ramadan.
Kecemasan Ahok
beralasan. Sapnah Yunita (12 tahun) misalnya, mengaku mampu memperoleh
penghasilan hingga Rp 100 ribu per hari dari meminta-minta. Pengemis cilik asal
Citayam, Bogor yang mengaku hanya mengemis pada bulan Ramadan ini datang ke
Masjid Istiqlal, sejak siang hari
sepulang sekolah sampai menjelang sahur. ''Lebih banyak kalau bulan puasa.
Apalagi pertengahan bulan, suka ada dari artis-artis,'' kata Sapnah saat
ditemui di Masjid Istiqlal, Selasa (9/7). (http://www.republika.co.id/berita/ramadhan/kabar-ramadhan/13/07/09/mpoa4w-berkah-ramadhan-di-mata-pengemis-musiman).
Apa yang
diungkapkan, Ikhsan, ketua RT 07/01 Desa Grinting, Kecamatan Bulakamba, Brebes,
Jawa Tengah, lebih mencengangkan. Warganya yang mengemis di Jakarta bisa
memeroleh penghasilan hingga Rp 6 juta sebulan. Sontak warganya yang hanya terdiri
dari 83 Kepala Keluarga ini, 75 persennya lebih suka merantau ke Jakarta
ketimbang menjadi buruh (tani dan bangunan) yang penghasilannya hanya Rp 12-35
ribu per hari. Tak heran jika sehari-hari, suasana desa ini selalu sunyi. "Mereka
ada yang jadi pengemis, pemulung, pedagang asongan, dan sebagainya. Sebagian
rumah warga di sini yang merantau ke Jakarta memang bagus-bagus," katanya
(http://www.republika.co.id/berita/nasional/umum/12/08/11/m8ka35-ini-dia-kampung-penghasil-pengemis-dimanakah-2).**
Tidak ada komentar:
Posting Komentar