7/09/2013

Hu Jintao: Koruptor Harus Diadili Tanpa Ampun



Untuk kesekian ribu kalinya, Pengadilan Beijing, Cina, menjatuhkan hukuman mati terhadap pelaku tindak pidana korupsi. Pada 8 Juli lalu, atas tuduhan penyuapan dan penyalahgunaan wewenang, mantan Menteri Kereta Api Cina, Liu Zhijun, diganjar hukuman cabut nyawa tersebut.Negeri tirai bambu ini  gencar mengeksekusi mati para kriminal khususnya pelaku korupsi, terutama sejak era kepemimpinan Perdana Menteri Zhu Rongji. Banyak yang menyangsikan penerapan hukuman mati terhadap koruptor berhasil menekan angka korupsi di negeri ini. Namun setidaknya, negeri berpaham komunis ini telah melahirkan pemimpin-pemimpin yang berani menindak tegas para koruptor.

Koruptor sedang dihukum mati di Cina
Kantor berita resmi Cina, Xinhua, Senin (8/7), melaporkan, isi dakwaan terhadap Zhijun adalah, antara tahun 1986 dan 2011 Zhijun menerima lebih dari 10 juta dolar Amerika Serikat (AS) uang suap untuk membantu orang naik pangkat atau memperoleh kontrak. Ia diberhentikan bulan Februari 2012 dan kemudian dikeluarkan dari Partai Komunis. Dakwaan itu juga mengatakan Zhijun bertanggung jawab atas hilangnya harta pemerintah yang sangat besar dan kerugian kepentingan negara dan rakyat.

Pengadilan juga memutuskan Zhijun akan kehilangan semua harta pribadinya dan tidak akan mempunyai hak politik seumur hidupnya. Tidak seperti dulu, saat ini hukuman mati di CIna biasanya dikurangi menjadi hukuman penjara seumur hidup (http://www.republika.co.id/berita/internasional/global/13/07/09/mpndd6-karena-korupsi-cina-hukum-mati-mantan-menteri-kereta-api). Atau bahkan sekadar dicopot atau dipecat dari jabatannya. Namun tindakan ini boleh dibilang masih lebih bagus ketimbang Indonesia, misalnya.

Dalam Kongres Partai Komunis ke-18, November 2012, Presiden Cina, Hu Jintao, pernah ngamuk”  mengetahui adanya perilaku korup di jajarannya. Sejumlah langkah bersih-bersih dilakukan, antara lain dengan mecopot hingga memecat sejumlah pejabat senior yang dituduh melakukan korupsi. Salah satunya adalah Liu Zhijun. Pejabat lainnya yang mengalami nasib sama adalah Ketua Partai kota Chongqing, Bo Xilai; mantan walikota kota Shenzhen, Xu Zongheng; dan Wakil Sekretaris Partai, Li Chuncheng. 

Nama terakhir ini sebelumnya dipromosikan untuk menjadi anggota non-voting dari Komite Sentral partai, yang kemudian kedapatan menikmati gratifikasi seks. Para pejabat ini dituduh mengambil keuntungan dari posisi mereka untuk mencari keuntungan untuk diri sendiri atau untuk orang lain, dengan menerima suap besar secara pribadi atau melalui keluarga mereka.

Sikap zero-tolerance pemerintah Cina terhadap korupsi, memenangkan pujian, termasuk dari pengguna internet yang selama ini dikenal kerap berseberangan dengan pemerintah dan sedikit nyinyir. Korupsi memang bagai kanker. Setelah bersih-bersih di era Perdana Menteri Zhu Rongji dengan menghukum mati semua pelakunya, korupsi kembali menjadi endemik di sana. Menanganinya, diakui Hu Jintao merupakan tantangan besar. Namun pemerintahan Hu tidak lagi terlalu mendengung-dengungkan hukuman mati.

Hu Jintao Tak Main-main
Alih-alih mengirimkan sebanyak mungkin politikus nakal ke tiang gantungan, Hu memilih melakukan langkah pembersihan. Salah satu upaya bersih-bersih itu adalah dengan memperketat pengawasan intra-partai, penegakan hukum, serta pengawasan melalui opini publik, untuk memastikan bahwa para pelaksana kekuasaan melakukannya secara transparan. "Semua orang yang melanggar disiplin Partai dan undang-undang negara, siapa pun mereka dan apa pun kekuasaan atau posisi resmi mereka, harus dibawa ke pengadilan tanpa ampun," kata Hu.

Hu tak main-main. Selama lima tahun terakhir, sudah lebih dari 668 ribu anggota Partai Komunis dan pejabat pemerintah dihukum karena melanggar aturan, 643 ribu kasus tengah diselidiki, dan 24.584 dikirim ke pengadilan untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya. Bagi Hu di pengujung masa jabatannya hanya ada dua opsi: tegas melawan korupsi, atau mewariskan negara dan partai yang rapuh karena korupsi (http://www.republika.co.id/berita/internasional/global/13/02/14/mi6una-cara-cina-bersihbersih-koruptor-partai).

Era pemberantasan korupsi di Cina sudah dimulai sejak masa Perdana Menteri Zhu Rongji pada 1998. Saking tegasnya Zhu pada korupsi, dia pun sempat melontarkan ucapan yang kemudian melegenda: "Beri saya 100 peti mati, 99 akan saya gunakan untuk mengubur para koruptor,
dan 1 untuk saya kalau saya melakukan tindakan korupsi," kata Zhu (
http://www.unikgaul.com/2012/09/5-pejabat-koruptor-yang-di-tembak-mati.html).

Meski mengurangi hukuman mati, namun pejabat tinggi Cina menyatakan Cina tidak pernah mempertimbangkan menghapus hukuman mati bagi pelaku kejahatan ekonomi. Disebutkan bahwa  penyesuaian suatu undang undang memungkinkan untuk tidak lagi mengganjar pelaku kejahatan ekonomi, seperti penggelapan pajak, korupsi ,dan pemalsuan dokumen, dengan hukuman mati. Dengan demikian jumlah eksekusi bisa berkurang.

"Penjahat yang didakwa kasus korupsi, harus dijatuhi hukuman berat. Penyesuaian undang undang tidak pernah dimaksud untuk menghapus hukuman mati untuk tindak kejahatan semacam ini," ujar Chen Sixi, ketua komisi parlemen urusan yuridis. Di Cina terdapat 68 jenis kejahatan yang mendapat ganjaran hukuman mati. Kabarnya setiap tahun ribuan orang divonis hukuman mati. Ini membuat Cina menjadi negara yang paling banyak menjatuhkan eksekusi hukuman mati dibanding negara mana pun (http://www.republika.co.id/berita/breaking-news/internasional/10/09/30/137209-cina-tak-hapus-hukuman-mati/http://www.republika.co.id/berita/internasional/global/11/05/25/llqw8z-tirai-bambu-akan-kurangi-hukuman-mati).

April lalu, Amnesti Internasional (AI) mengeluarkan laporan tahunan tentang pelaksanaan hukuman mati. Dalam laporan tersebut AI meyakini Cina masih menjadi yang tertinggi dalam memberikan vonis berat (hukuman mati) sepanjang 2012, meskipun AI tidak dapat meyebut angkanya karena ketertutupan akses data dari negeri tersebut.  Posisi Cina ini disusul Iran, Irak, Arab Saudi, dan AS. Pakar pidana dari Universitas Renmin di Beijing, Hao Hinwang, mengatakan, masyarakat di negaranya mendukung langkah pemerintah atas hukuman mati.

'”Kebanyakan kami (rakyat Cina) percaya praktik hukuman mati adalah perlu,” ujar Hinwang. Terlepas dari risiko kesalahan pemberi sanksi, kata dia, hukuman ini efektif memberikan dampak jera bagi pelaku kejahatan. Apalagi, dia menambahkan, literatur sejarah membuktikan hukuman tersebut adalah abadi hingga sekarang. “Itu tidak bisa dihilangkan sejak zaman kuno,” ujarnya (http://www.republika.co.id/berita/koran/news-update/13/04/10/ml1rj8-cina-tertinggi-vonis-mati).

DPR Basa-basi
Sikap anggota DPR mengenai hukuman mati terhadap koruptor tidak pernah jelas. Wakil Ketua Komisi II DPR RI, Hakam Naja, mungkin tergolong yang anti korupsi. Jika hukuman mati ala Cina terhadap koruptor ingin diterapkan, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kata Hakam, sebenarnya memiliki hak tersebut. “Jaksa Penuntut Umum (JPU) KPK bisa meminta koruptor dihukum mati,” katanya, Sabtu, (2/2/13). Namun Hakam menyayangkan, kebanyakan JPU cenderung menuntut koruptor dengan hukuman sedang bahkan ringan.

Indonesia, ujar Hakam, harus belajar dari Cina. Beberapa waktu lalu seorang walikota di Cina melakukan korupsi sebesar satu juta dolar AS, dan ia langsung dihukum mati. “Dengan pemberlakukan hukuman mati bagi koruptor, Cina mampu menekan kasus korupsi secara signifikan. Padahal dulu Cina merupakan salah satu negara paling korup di dunia,” kata Hakam (http://www.republika.co.id/berita/nasional/hukum/13/02/02/mhlap8-korupsi-di-atas-puluhan-miliar-harus-dihukum-mati).

Anggota DPR lainnya yang pernah manyatakan dukungan hukuman mati kepada koruptor adalah Priyo Budi Santoso. Priyo menyatakan itu saat menanggapi hasil pembahasan pada Musyawarah Nasional  Alim Ulama Nahdlatul Ulama (Munas NU) September 2012 lalu yang menghasilkan keputusan menyetujui diberlakukannya hukuman mati kepada koruptor (http://www.merdeka.com/peristiwa/pimpinan-dpr-setuju-koruptor-harus-dihukum-mati.html).

Namun  Pakar Hukum Pidana Universitas Indonesia, Akhiar Salmi, masih menganggap dukungan anggota DPR pada penerapan hukuman mati terhadap koruptor ini masih sebatas basa-basi. Pencantumkan pasal hukuman mati terhadap koruptor pada UU No.31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), kata Akhiar, dilakukan DPR setelah adanya desakan dari masyarakat. “Tapi hanya basa-basi.  Pasal tersebut menyebutkan ‘hukuman mati bisa dijatuhkan pada kondisi tertentu’. Kondisi tertentu itu kapan," katanya (http://www.republika.co.id/berita/nasional/hukum/12/09/24/mauwiv-koruptor-dinilai-pantas-dihukum-mati).

Bahkan pada 2011, DPR sempat menyusun draft Rancangan Undang-Undang (RUU) Tipikor yang isinya menghilangkan pasal hukuman mati pada UU/31/1999 tersebut. Pemerintah selaku pihak yang mengajukan RUU itu dituding  berseberangan dengan upaya agenda pemberantasan korupsi (http://www.republika.co.id/berita/nasional/hukum/11/03/28/lirm29-kpk-dukung-hukuman-mati-bagi-koruptor). Salah seorang politisi dari Partai Demokrat, Benny K. Harman, pernah mengatakan ketidaksetujuan hukuman mati bagi koruptor. Dia berdalih, hukuman mati yang ada di Cina tidak pernah efektif menekan indeks korupsi di negara itu (http://www.republika.co.id/berita/nasional/hukum/11/03/29/lit9gb-secara-empirik-hukuman-mati-tidak-efektif-tekan-korupsi).**

Tidak ada komentar:

Posting Komentar