Untuk
kesekian ribu kalinya, Pengadilan Beijing, Cina, menjatuhkan hukuman mati terhadap
pelaku tindak pidana korupsi. Pada 8 Juli lalu, atas tuduhan penyuapan dan
penyalahgunaan wewenang, mantan Menteri Kereta Api Cina, Liu Zhijun, diganjar hukuman
cabut nyawa tersebut.Negeri tirai bambu ini gencar mengeksekusi mati para kriminal khususnya
pelaku korupsi, terutama sejak era kepemimpinan Perdana Menteri Zhu Rongji.
Banyak yang menyangsikan penerapan hukuman
mati terhadap koruptor berhasil menekan angka korupsi di negeri ini. Namun setidaknya,
negeri berpaham komunis ini telah melahirkan pemimpin-pemimpin yang berani menindak tegas para koruptor.
Koruptor sedang dihukum mati di Cina |
Kantor
berita resmi Cina, Xinhua, Senin (8/7), melaporkan, isi dakwaan terhadap
Zhijun adalah, antara tahun 1986 dan 2011 Zhijun menerima lebih dari 10 juta dolar
Amerika Serikat (AS) uang suap untuk membantu orang naik pangkat atau
memperoleh kontrak. Ia diberhentikan bulan Februari 2012 dan kemudian
dikeluarkan dari Partai Komunis. Dakwaan itu juga mengatakan Zhijun bertanggung
jawab atas hilangnya harta pemerintah yang sangat besar dan kerugian
kepentingan negara dan rakyat.
Pengadilan
juga memutuskan Zhijun akan kehilangan semua harta pribadinya dan tidak akan
mempunyai hak politik seumur hidupnya. Tidak seperti dulu, saat ini hukuman
mati di CIna biasanya dikurangi menjadi hukuman penjara seumur hidup (http://www.republika.co.id/berita/internasional/global/13/07/09/mpndd6-karena-korupsi-cina-hukum-mati-mantan-menteri-kereta-api).
Atau bahkan sekadar dicopot atau dipecat dari jabatannya. Namun tindakan ini boleh
dibilang masih lebih bagus ketimbang Indonesia, misalnya.
Dalam
Kongres Partai Komunis ke-18, November 2012, Presiden Cina, Hu Jintao, pernah “ngamuk” mengetahui
adanya perilaku korup di jajarannya. Sejumlah langkah bersih-bersih dilakukan,
antara lain dengan mecopot hingga memecat sejumlah pejabat senior yang dituduh
melakukan korupsi. Salah satunya adalah Liu Zhijun. Pejabat lainnya yang
mengalami nasib sama adalah Ketua Partai kota Chongqing, Bo Xilai; mantan
walikota kota Shenzhen, Xu Zongheng; dan Wakil Sekretaris Partai, Li Chuncheng.
Nama
terakhir ini sebelumnya dipromosikan untuk menjadi anggota non-voting dari Komite Sentral partai, yang kemudian kedapatan
menikmati gratifikasi seks. Para pejabat ini dituduh mengambil keuntungan dari
posisi mereka untuk mencari keuntungan untuk diri sendiri atau untuk orang
lain, dengan menerima suap besar secara pribadi atau melalui keluarga mereka.
Sikap zero-tolerance pemerintah Cina terhadap
korupsi, memenangkan pujian, termasuk dari pengguna internet yang selama ini
dikenal kerap berseberangan dengan pemerintah dan sedikit nyinyir.
Korupsi memang bagai kanker. Setelah bersih-bersih di era Perdana Menteri Zhu
Rongji dengan menghukum mati semua pelakunya, korupsi kembali menjadi endemik di
sana. Menanganinya, diakui Hu Jintao merupakan tantangan besar. Namun
pemerintahan Hu tidak lagi terlalu mendengung-dengungkan hukuman mati.
Hu Jintao Tak Main-main
Alih-alih
mengirimkan sebanyak mungkin politikus nakal ke tiang gantungan, Hu memilih
melakukan langkah pembersihan. Salah satu upaya bersih-bersih itu adalah dengan
memperketat pengawasan intra-partai, penegakan hukum, serta pengawasan melalui
opini publik, untuk memastikan bahwa para pelaksana kekuasaan melakukannya
secara transparan. "Semua orang yang melanggar disiplin Partai dan
undang-undang negara, siapa pun mereka dan apa pun kekuasaan atau posisi resmi
mereka, harus dibawa ke pengadilan tanpa ampun," kata Hu.
Hu tak main-main.
Selama lima tahun terakhir, sudah lebih dari 668 ribu anggota Partai Komunis dan
pejabat pemerintah dihukum karena melanggar aturan, 643 ribu kasus tengah
diselidiki, dan 24.584 dikirim ke pengadilan untuk mempertanggungjawabkan
perbuatannya. Bagi Hu di pengujung masa jabatannya hanya ada dua opsi: tegas
melawan korupsi, atau mewariskan negara dan partai yang rapuh karena korupsi (http://www.republika.co.id/berita/internasional/global/13/02/14/mi6una-cara-cina-bersihbersih-koruptor-partai).
Era pemberantasan korupsi di Cina sudah
dimulai sejak masa Perdana Menteri Zhu Rongji pada 1998. Saking tegasnya Zhu
pada korupsi, dia pun sempat melontarkan ucapan yang kemudian melegenda: "Beri
saya 100 peti mati, 99 akan saya gunakan untuk mengubur para koruptor,
dan 1 untuk saya kalau saya melakukan tindakan korupsi," kata Zhu (http://www.unikgaul.com/2012/09/5-pejabat-koruptor-yang-di-tembak-mati.html).
dan 1 untuk saya kalau saya melakukan tindakan korupsi," kata Zhu (http://www.unikgaul.com/2012/09/5-pejabat-koruptor-yang-di-tembak-mati.html).
Meski
mengurangi hukuman mati, namun pejabat tinggi Cina menyatakan Cina tidak pernah
mempertimbangkan menghapus hukuman mati bagi pelaku kejahatan ekonomi.
Disebutkan bahwa penyesuaian suatu
undang undang memungkinkan untuk tidak lagi mengganjar pelaku kejahatan
ekonomi, seperti penggelapan pajak, korupsi ,dan pemalsuan dokumen, dengan
hukuman mati. Dengan demikian jumlah eksekusi bisa berkurang.
"Penjahat
yang didakwa kasus korupsi, harus dijatuhi hukuman berat. Penyesuaian undang
undang tidak pernah dimaksud untuk menghapus hukuman mati untuk tindak
kejahatan semacam ini," ujar Chen Sixi, ketua komisi parlemen urusan
yuridis. Di Cina terdapat 68 jenis kejahatan yang mendapat ganjaran hukuman
mati. Kabarnya setiap tahun ribuan orang divonis hukuman mati. Ini membuat Cina
menjadi negara yang paling banyak menjatuhkan eksekusi hukuman mati dibanding negara
mana pun (http://www.republika.co.id/berita/breaking-news/internasional/10/09/30/137209-cina-tak-hapus-hukuman-mati/http://www.republika.co.id/berita/internasional/global/11/05/25/llqw8z-tirai-bambu-akan-kurangi-hukuman-mati).
April
lalu, Amnesti Internasional (AI) mengeluarkan laporan tahunan tentang
pelaksanaan hukuman mati. Dalam laporan tersebut AI meyakini Cina masih menjadi
yang tertinggi dalam memberikan vonis berat (hukuman mati) sepanjang 2012,
meskipun AI tidak dapat meyebut angkanya karena ketertutupan akses data dari
negeri tersebut. Posisi Cina ini disusul
Iran, Irak, Arab Saudi, dan AS. Pakar pidana dari Universitas Renmin di
Beijing, Hao Hinwang, mengatakan, masyarakat di negaranya mendukung langkah
pemerintah atas hukuman mati.
'”Kebanyakan
kami (rakyat Cina) percaya praktik hukuman mati adalah perlu,” ujar Hinwang.
Terlepas dari risiko kesalahan pemberi sanksi, kata dia, hukuman ini efektif
memberikan dampak jera bagi pelaku kejahatan. Apalagi, dia menambahkan,
literatur sejarah membuktikan hukuman tersebut adalah abadi hingga sekarang.
“Itu tidak bisa dihilangkan sejak zaman kuno,” ujarnya (http://www.republika.co.id/berita/koran/news-update/13/04/10/ml1rj8-cina-tertinggi-vonis-mati).
DPR Basa-basi
Sikap
anggota DPR mengenai hukuman mati terhadap koruptor tidak pernah jelas. Wakil
Ketua Komisi II DPR RI, Hakam Naja, mungkin tergolong yang anti korupsi. Jika
hukuman mati ala Cina terhadap koruptor ingin diterapkan, Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK) kata Hakam, sebenarnya memiliki hak tersebut. “Jaksa Penuntut
Umum (JPU) KPK bisa meminta koruptor dihukum mati,” katanya, Sabtu, (2/2/13). Namun
Hakam menyayangkan, kebanyakan JPU cenderung menuntut koruptor dengan hukuman
sedang bahkan ringan.
Indonesia,
ujar Hakam, harus belajar dari Cina. Beberapa waktu lalu seorang walikota di
Cina melakukan korupsi sebesar satu juta dolar AS, dan ia langsung dihukum
mati. “Dengan pemberlakukan hukuman mati bagi koruptor, Cina mampu menekan kasus
korupsi secara signifikan. Padahal dulu Cina merupakan salah satu negara
paling korup di dunia,” kata Hakam (http://www.republika.co.id/berita/nasional/hukum/13/02/02/mhlap8-korupsi-di-atas-puluhan-miliar-harus-dihukum-mati).
Anggota
DPR lainnya yang pernah manyatakan dukungan hukuman mati kepada koruptor adalah
Priyo Budi Santoso. Priyo menyatakan itu saat menanggapi hasil pembahasan pada Musyawarah
Nasional Alim Ulama Nahdlatul Ulama (Munas NU) September 2012 lalu yang
menghasilkan keputusan menyetujui diberlakukannya hukuman mati kepada koruptor
(http://www.merdeka.com/peristiwa/pimpinan-dpr-setuju-koruptor-harus-dihukum-mati.html).
Namun
Pakar Hukum Pidana Universitas Indonesia,
Akhiar Salmi, masih menganggap dukungan anggota DPR pada penerapan hukuman mati
terhadap koruptor ini masih sebatas basa-basi. Pencantumkan pasal hukuman mati
terhadap koruptor pada UU No.31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi (Tipikor), kata Akhiar, dilakukan DPR setelah adanya desakan dari
masyarakat. “Tapi hanya basa-basi. Pasal
tersebut menyebutkan ‘hukuman mati bisa dijatuhkan pada kondisi tertentu’.
Kondisi tertentu itu kapan," katanya (http://www.republika.co.id/berita/nasional/hukum/12/09/24/mauwiv-koruptor-dinilai-pantas-dihukum-mati).
Bahkan
pada 2011, DPR sempat menyusun draft Rancangan Undang-Undang (RUU) Tipikor yang
isinya menghilangkan pasal hukuman mati pada UU/31/1999 tersebut. Pemerintah
selaku pihak yang mengajukan RUU itu dituding berseberangan dengan upaya
agenda pemberantasan korupsi (http://www.republika.co.id/berita/nasional/hukum/11/03/28/lirm29-kpk-dukung-hukuman-mati-bagi-koruptor).
Salah seorang politisi dari Partai Demokrat, Benny K. Harman, pernah mengatakan
ketidaksetujuan hukuman mati bagi koruptor. Dia berdalih, hukuman mati yang ada
di Cina tidak pernah efektif menekan indeks korupsi di negara itu (http://www.republika.co.id/berita/nasional/hukum/11/03/29/lit9gb-secara-empirik-hukuman-mati-tidak-efektif-tekan-korupsi).**
Tidak ada komentar:
Posting Komentar