7/09/2013

Tidak ada Kupu-Kupu, Tidak Bagus!



“Para ilmuwan menemukan adanya peningkatan jumlah kaki, antena, dan mutasi pada bentuk sayap pada kupu-kupu yang ditemukan pasca insiden nuklir Fukushima”

Coba perhatikan lingkungan rumah anda, apakah masih sering dikunjungi kupu-kupu? Jika ya, bersyukurlah karena bisa jadi lingkungan rumah anda tergolong masih baik. Semakin banyak kupu-kupu yang bertandang, artinya kondisi lingkungan anda semakin baik. "Semakin tinggi keragaman spesies kupu-kupu di suatu tempat, menandakan lingkungan tersebut masih baik," demikian dikatakan Dian Rahmawati, ketua tim peneliti Mahasiswa Jurusan Pendidikan Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Negeri Yogyakarta (UNY).

ROL
Kupu-kupu jelas Dian, menyukai tempat-tempat yang bersih, sejuk, dan tidak terpolusi oleh insektisida, asap, dan bau yang tidak sedap, sehingga menjadi salah satu serangga yang dapat digunakan sebagai bioindikator terhadap perubahan ekologi. Dian menyatakan itu berkaitan dengan penelitian yang dilakukannya bersama timnya dari UNY atas struktur komunitas kupu-kupu di kawasan gunung api purba Nglanggeran, Gunung Kidul, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY).

Tim tersebut menemukan bahwa jenis kupu-kupu yang ditemukan di kawasan tersebut masih banyak. "Kupu-kupu yang ditemukan dari pengamatan di gunung api purba Nglanggeran sebanyak 35 jenis (spesies) dari tiga famili, yakni Papilionidae, Pieridae, dan Nymphalidae," katanya di Yogyakarta, Senin (8/7).(http://www.republika.co.id/berita/trendtek/sains/13/07/08/mpml6s-kupukupu-di-gunung-api-jadi-indikator-kerusakan-hutan).

Bioindikator adalah jenis atau populasi tumbuhan, hewan dan mikroorganisme yang kehadiran, vitalitas dan responnya akan berubah karena pengaruh kondisi lingkungan. Setiap jenis akan memberikan respon terhadap perubahan lingkungan tergantung dari stimulasi (rangsangan) yang diterimanya. Respon yang diberikan mengindikasikan perubahan dan tingkat pencemaran yang terjadi di lingkungan tersebut dimana respon yang diberikan dapat bersifat sangat sensitif, sensitif, atau resisten (http://www.scribd.com/doc/119618589/SINYAL-LINGKUNGAN-PADA-SERANGGA).

Henk van Mastrigt, seorang peneliti serangga (entomolog) amatir di Papua, pernah juga melakukan penelitian dengan indikator serangga ini di Mamberamo sampai Pegunungan Cylops, Papua. "Bila kupu-kupu jarang ada, berarti ada masalah di hutan itu, misalnya air," katanya. Dari penelitian itu, Henk membukukannya dalam bentuk buku panduan lapangan dengan judul "Kupu-kupu untuk Wilayah Mamberamo sampai Pegunungan Cyclops". Henk mencatat, ada kecenderungan jumlah kupu-kupu semakin jarang dijumpai.  

Sejak kedatangannya ke Papua pada 1974 sebagai seorang misionaris, dari 750 jenis kupu-kupu yang diperkirakan berada di seluruh Papua, Henk mendapati sekitar 200-300 jenis kupu-kupu di wilayah Memberamo sampai Pegunungan Cylops. Jumlah tersebut menurut dia sudah berkurang sebanyak 70 jenis dibanding periode Wallace. Kupu-kupu merupakan salah satu kelompok fauna yang sangat menarik di Papua, karena keanekaragamannya serta ancaman kelestariannya (http://arsip.gatra.com/2005-05-31/artikel.php?id=84717).

Di Indonesia, setiap pulau memiliki jenis kupu-kupu tersendiri dengan jumlah sekitar 100.000-150.000 spesies. Dari jumlah tersebut, sekitar 5.000 spesies terdapat di Papua. Kupu-kupu menjadi indikator kualitas lingkungan hidup, karena kupu-kupu di dalam ekosistem memiliki peran sebagai polinator atau penyerbuk bunga paling baik (http://koran-jakarta.com/index.php/detail/view01/85522). Tanpa kupu-kupu, penyebukan tidak akan berlangsung sehingga akan berpengaruh terhadap regenerasi tumbuh-tumbuhan bahkan hutan tempat hidup mereka (http://kalsel.antaranews.com/berita/7176/ditemukan-60-jenis-kupu-kupu-diantaranya-langka).

Sementara itu Kepala Dinas Pertanian, Perikanan dan Kehutanan Kota Palembang, Sudirman Tegoeh, saat peresmian  taman kupu-kupu di areal kantor DP2K Palembang, di Gandus, Palembang, pada 19 Februari lalu mengatakan, populasi kupu-kupu di Indonesia mengalami penurunan, khususnya dalam lima tahun terakhir. “Ini terjadi karena polusi udara, karena kupu-kupu ini sangat rentan dengan kondisi udara," jelasnya. Kupu-kupu merupakan indikator lingkungan yang mencerminkan kawasan tersebut masih asri. "Kupu-kupu tidak bisa berkembang dikawasan yang telah tercemar polusi,"ungkapnya (http://www.jpnn.com/read/2013/02/20/159280/Kupu-kupu-Dari-11-Spesies-Disebar-).

Kupu-kupu Bermutasi di Fukushima
Rupanya, sejak gempa dan tsunami menghantam Jepang pada 11 Maret 2011 lalu, dan membocorkan  reaktor nuklir Fukushima, dampak negatifnya bisa dilihat pula dari komunitas kupu-kupu yang hidup di sana. Paparan bahan radioaktif yang terlepas ke lingkungan telah menyebabkan kupu-kupu mengalami mutasi sehingga bentuknya menjadi abnormal. Para ilmuwan menemukan adanya peningkatan jumlah kaki, antena, dan mutasi pada bentuk sayap pada kupu-kupu yang ditemukan pasca insiden nuklir 2011 itu. Peneliti yang telah dipublikasikan dalam jurnal Scientific Reports ini menggunakan indikator kupu-kupu karena hewan ini dianggap sangat sensitif terhadap perubahan lingkungan. Mereka juga berencana menggunakan burung untuk mengukur "indikator lingkungan" sebelum kecelakaan Fukushima.

Kaitan antara mutasi dan material radioaktif juga ditunjukkan lewat penelitian laboratorium. Awalnya, dua bulan setelah setelah insiden luruhnya reaktor nuklir Fukushima, sebuah tim peneliti Jepang mengumpulkan 144 kupu-kupu berkulit pucat jenis Zizeeria maha dari 10 lokasi di Jepang, termasuk area Fukushima. Saat insiden terjadi, kupu-kupu itu masih berupa larva. Kepala peneliti, Joji Otaki, dari University of the Ryukyus, Okinawa, menyatakan, hasil penelitian sangat tak terduga.

Dengan membandingkan mutasi yang ditemukan pada kupu-kupu dari berbagai wilayah itu, tim menemukan bahwa area dengan jumlah radiasi lebih besar menjadi rumah bagi kupu-kupu dengan sayap lebih kecil dan mata yang berkembang secara tidak teratur. "Padahal selama ini diyakini serangga sangat tahan terhadap radiasi," kata Joji. Tim lantas membiakkan di dalam laboratorium kupu-kupu yang hidup pada jarak 1.750 km dari lokasi kecelakaan di mana radiasi hampir tidak terdeteksi.

Hasilnya, kebanyakan dari mereka tumbuh normal, beda dengan kupu-kupu Fukushima yang memiliki antena cacat. Untuk diketahui, antena pada kupu-kupu bekerja sebagai radar yang menuntun hewan ini untuk mengeksplorasi lingkungan sekaligus mencari pasangan.  Enam bulan kemudian, tim kembali mengumpulkan kupu-kupu dewasa dari 10 situs yang sama. Mereka menemukan, kupu-kupu dari wilayah Fukushima memiliki tingkat mutasi lebih dari dua kali lipat dari yang ditemukan sebelumnya pasca insiden. Tim lalu meyimpulkan, tingkat mutasi yang tinggi disebabkan kontaminasi makanan, juga dari mutasi materi genetik yang diturunkan dari generasi ke generasi (http://teknologi.news.viva.co.id/news/read/344218-radiasi-nuklir--kupu-kupu-fukushima-abnormal).**


Tidak ada komentar:

Posting Komentar