“Para
ilmuwan menemukan adanya peningkatan jumlah kaki, antena, dan mutasi pada
bentuk sayap pada kupu-kupu yang ditemukan pasca insiden nuklir Fukushima”
Coba
perhatikan lingkungan rumah anda, apakah masih sering dikunjungi kupu-kupu?
Jika ya, bersyukurlah karena bisa jadi lingkungan rumah anda tergolong masih
baik. Semakin banyak kupu-kupu yang bertandang, artinya kondisi lingkungan anda
semakin baik. "Semakin tinggi keragaman spesies kupu-kupu di suatu tempat,
menandakan lingkungan tersebut masih baik," demikian dikatakan Dian
Rahmawati, ketua tim peneliti Mahasiswa Jurusan Pendidikan Biologi Fakultas
Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Negeri Yogyakarta (UNY).
ROL |
Kupu-kupu
jelas Dian, menyukai tempat-tempat yang bersih, sejuk, dan tidak terpolusi oleh
insektisida, asap, dan bau yang tidak sedap, sehingga menjadi salah satu
serangga yang dapat digunakan sebagai bioindikator terhadap perubahan ekologi. Dian
menyatakan itu berkaitan dengan penelitian yang dilakukannya bersama timnya
dari UNY atas struktur komunitas kupu-kupu di kawasan gunung api purba
Nglanggeran, Gunung Kidul, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY).
Tim
tersebut menemukan bahwa jenis kupu-kupu yang ditemukan di kawasan tersebut
masih banyak. "Kupu-kupu yang ditemukan dari pengamatan di gunung api
purba Nglanggeran sebanyak 35 jenis (spesies) dari tiga famili, yakni
Papilionidae, Pieridae, dan Nymphalidae," katanya di Yogyakarta, Senin
(8/7).(http://www.republika.co.id/berita/trendtek/sains/13/07/08/mpml6s-kupukupu-di-gunung-api-jadi-indikator-kerusakan-hutan).
Bioindikator
adalah jenis atau populasi tumbuhan, hewan dan mikroorganisme yang kehadiran,
vitalitas dan responnya akan berubah karena pengaruh kondisi lingkungan. Setiap
jenis akan memberikan respon terhadap perubahan lingkungan tergantung dari
stimulasi (rangsangan) yang diterimanya. Respon yang diberikan mengindikasikan
perubahan dan tingkat pencemaran yang terjadi di lingkungan tersebut dimana
respon yang diberikan dapat bersifat sangat sensitif, sensitif, atau resisten (http://www.scribd.com/doc/119618589/SINYAL-LINGKUNGAN-PADA-SERANGGA).
Henk
van Mastrigt, seorang peneliti serangga (entomolog) amatir di Papua, pernah
juga melakukan penelitian dengan indikator serangga ini di Mamberamo sampai
Pegunungan Cylops, Papua. "Bila kupu-kupu jarang ada, berarti ada masalah
di hutan itu, misalnya air," katanya. Dari penelitian itu, Henk membukukannya
dalam bentuk buku panduan lapangan dengan judul "Kupu-kupu untuk Wilayah
Mamberamo sampai Pegunungan Cyclops". Henk mencatat, ada kecenderungan
jumlah kupu-kupu semakin jarang dijumpai.
Sejak
kedatangannya ke Papua pada 1974 sebagai seorang misionaris, dari 750 jenis
kupu-kupu yang diperkirakan berada di seluruh Papua, Henk mendapati sekitar 200-300
jenis kupu-kupu di wilayah Memberamo sampai Pegunungan Cylops. Jumlah tersebut
menurut dia sudah berkurang sebanyak 70 jenis dibanding periode Wallace. Kupu-kupu
merupakan salah satu kelompok fauna yang sangat menarik di Papua, karena keanekaragamannya
serta ancaman kelestariannya (http://arsip.gatra.com/2005-05-31/artikel.php?id=84717).
Di
Indonesia, setiap pulau memiliki jenis kupu-kupu tersendiri dengan jumlah
sekitar 100.000-150.000 spesies. Dari jumlah tersebut, sekitar 5.000 spesies
terdapat di Papua. Kupu-kupu menjadi indikator kualitas lingkungan hidup,
karena kupu-kupu di dalam ekosistem memiliki peran sebagai polinator atau
penyerbuk bunga paling baik (http://koran-jakarta.com/index.php/detail/view01/85522).
Tanpa kupu-kupu, penyebukan tidak akan berlangsung sehingga akan berpengaruh
terhadap regenerasi tumbuh-tumbuhan bahkan hutan tempat hidup mereka (http://kalsel.antaranews.com/berita/7176/ditemukan-60-jenis-kupu-kupu-diantaranya-langka).
Sementara
itu Kepala Dinas Pertanian, Perikanan dan Kehutanan Kota Palembang, Sudirman
Tegoeh, saat peresmian taman kupu-kupu di
areal kantor DP2K Palembang, di Gandus, Palembang, pada 19 Februari lalu mengatakan,
populasi kupu-kupu di Indonesia mengalami penurunan, khususnya dalam lima tahun
terakhir. “Ini terjadi karena polusi udara, karena kupu-kupu ini sangat rentan
dengan kondisi udara," jelasnya. Kupu-kupu merupakan indikator lingkungan
yang mencerminkan kawasan tersebut masih asri. "Kupu-kupu tidak bisa
berkembang dikawasan yang telah tercemar polusi,"ungkapnya (http://www.jpnn.com/read/2013/02/20/159280/Kupu-kupu-Dari-11-Spesies-Disebar-).
Kupu-kupu Bermutasi di
Fukushima
Rupanya,
sejak gempa dan tsunami menghantam Jepang pada 11 Maret 2011 lalu, dan membocorkan
reaktor nuklir Fukushima, dampak
negatifnya bisa dilihat pula dari komunitas kupu-kupu yang hidup di sana. Paparan
bahan radioaktif yang terlepas ke lingkungan telah menyebabkan kupu-kupu
mengalami mutasi sehingga bentuknya menjadi abnormal. Para ilmuwan menemukan
adanya peningkatan jumlah kaki, antena, dan mutasi pada bentuk sayap pada
kupu-kupu yang ditemukan pasca insiden nuklir 2011 itu. Peneliti yang telah
dipublikasikan dalam jurnal Scientific Reports ini menggunakan indikator
kupu-kupu karena hewan ini dianggap sangat sensitif terhadap perubahan
lingkungan. Mereka juga berencana menggunakan burung untuk mengukur "indikator
lingkungan" sebelum kecelakaan Fukushima.
Kaitan
antara mutasi dan material radioaktif juga ditunjukkan lewat penelitian
laboratorium. Awalnya, dua bulan setelah setelah insiden luruhnya reaktor
nuklir Fukushima, sebuah tim peneliti Jepang mengumpulkan 144 kupu-kupu berkulit
pucat jenis Zizeeria maha dari 10 lokasi di Jepang, termasuk area
Fukushima. Saat insiden terjadi, kupu-kupu itu masih berupa larva. Kepala
peneliti, Joji Otaki, dari University of the Ryukyus, Okinawa, menyatakan, hasil
penelitian sangat tak terduga.
Dengan
membandingkan mutasi yang ditemukan pada kupu-kupu dari berbagai wilayah itu,
tim menemukan bahwa area dengan jumlah radiasi lebih besar menjadi rumah bagi
kupu-kupu dengan sayap lebih kecil dan mata yang berkembang secara tidak
teratur. "Padahal selama ini diyakini serangga sangat tahan terhadap
radiasi," kata Joji. Tim lantas membiakkan di dalam laboratorium kupu-kupu
yang hidup pada jarak 1.750 km dari lokasi kecelakaan di mana radiasi hampir
tidak terdeteksi.
Hasilnya,
kebanyakan dari mereka tumbuh normal, beda dengan kupu-kupu Fukushima yang
memiliki antena cacat. Untuk diketahui, antena pada kupu-kupu bekerja sebagai
radar yang menuntun hewan ini untuk mengeksplorasi lingkungan sekaligus mencari
pasangan. Enam bulan kemudian, tim
kembali mengumpulkan kupu-kupu dewasa dari 10 situs yang sama. Mereka
menemukan, kupu-kupu dari wilayah Fukushima memiliki tingkat mutasi lebih dari
dua kali lipat dari yang ditemukan sebelumnya pasca insiden. Tim lalu
meyimpulkan, tingkat mutasi yang tinggi disebabkan kontaminasi makanan, juga
dari mutasi materi genetik yang diturunkan dari generasi ke generasi (http://teknologi.news.viva.co.id/news/read/344218-radiasi-nuklir--kupu-kupu-fukushima-abnormal).**
Tidak ada komentar:
Posting Komentar