Tak
terdengar gaungnya di negeri sendiri, pesawat CN 235 ternyata diminati di mancanegara.
Ketika sejumlah negara menjadikannya sebagai pesawat patroli maritim, PT Dirgantara
Indonesia (DI), produsen CN 235, sontak kebanjiran peminat. Dirut PT DI
mengatakan, CN 235 banyak dibutuhkan negara yang mengkhawatirkan masalah bajak
laut, penyelundupan, atau imigran gelap. Popularitas CN 235 juga meningkat
karena pesawat setipenya seperti Buffalo tidak diproduksi lagi. Anehnya, negeri
sendiri malah lebih memilih pesawat
sejenis dari Cina yang terbukti lebih rentan kecelakaan.
ROL |
Menteri
Pertahanan Senegal, Augustine Tine, memuji kinerja pesawat CN 235 buatan
Indonesia dan berminat menambah koleksinya. "Kami menggunakan pesawat itu
untuk berbagai keperluan dan saya puas dengan kemampuannya," kata
Augustine seusai pertemuan dengan Wakil Menteri Pertahanan (Wamenhan)
Indonesia, Sjafrie Sjamsoeddin, di Dakar, Senegal.
Angkatan
Bersenjata Senegal memiliki satu unit pesawat angkut militer CN 235 yang dibeli
secara kredit dari penjamin di Belgia. Tingkat penggunaan pesawat tersebut
sangat tinggi. "Besok saya akan naik pesawat itu ke daerah. Kadang
digunakan untuk ke negara tetangga seperti Mali atau Benin," kata
Augustine.
Sjafrie, didampingi
Dirjen Strategi Pertahanan, Sonny Prasetyo, dan Direktur Pemasaran PT DI,
Budiman Saleh, berada di Dakkar untuk menawarkan pesawat CN 235 dan generasi
terbarunya CN 295 yang lebih canggih kepada pemerintah Senegal. "Saya
berharap bisa tambah satu yang generasi baru, adakah diberikan fasilitas
kreditnya?" tanya Augustine. Sjafrie pun menjawab, bisa-bisa saja. Wamenhan
lalu mengundang Augustine datang ke Indonesia (http://www.republika.co.id/berita/nasional/umum/13/07/05/mpfmpq-merasa-puas-senegal-siap-beli-lagi-pesawat-ri).
Dimintai untuk Patroli Maritim
Sebelumnya,
Augustine saat dikunjungi lima anggota DPR dari fraksi Demokrat, Golkar dan PDI
Perjuangan, Mei lalu, menyatakan berminat membeli dua pesawat CN-235 versi 220.
Pesawat itu akan digunakan untuk memenuhi kebutuhan VIP dan transportasi udara
(http://www.republika.co.id/berita/nasional/politik/13/05/18/mn0161-dpr-senegal-tertarik-pesawat-cn235).
Senegal rupanya masih pasar baru, karena “diam-diam”, negara tetangga Indonesia
sendiri, Malaysia, sudah memiliki delapan unit CN 235. Negeri jiran ini
menjadikan empat pesawat ini untuk keperluan transportasi militer, dan dua unit
lainnya untuk keperluan “VIP” perdana menteri dan pemerintahan.
Namun karena
kebutuhan patroli maritim negara itu tampaknya meningkat, Manajer pemasaran dan
komersial PTDI, Teguh Graito, mengatakan, Malaysia telah meminta PT DI untuk
mengonversi tiga unit pesawatnya itu menjadi pesawat patroli maritim (http://www.republika.co.id/berita/ekonomi/bisnis/13/04/24/mlra3d-malaysia-thai-hingga-bangladesh-peminat-terbesar-cn235).
Pada kesempatan terpisah, Dirut PT DI, Budi Santoso, mengatakan, untuk
mengawasi Kepulauan Spratly di Laut China Selatan yang dipersengketakan
sejumlah negara, baik Tentara Diraja Malaysia maupun Brunei sama-sama
mengerahkan pesawat CN-235 buatan PT DI.
Pesawat CN-235 yang
diharapkan menjadi pesawat patroli maritim yang digunakan oleh semua negara ini,
masih merupakan hasil kerjasama dengan Casa Spanyol. Di seluruh dunia saat ini
kata Budi, masih beroperasi sekitar 50 pesawat CN-235 di berbagai negara buatan
PT DI, dan sekitar 150 unit CN-235 buatan Casa Spanyol (http://www.republika.co.id/berita/breaking-news/ekonomi/10/12/29/155041-wuih-diposisikan-sebagai-pesawat-patroli-maritim-cn235-banjir-peminat).
Negara tetangga
lainnya yang tercatat menggunakan produk pesawat PT DI adalah Filipina yang
telah memiliki dua unit NC 212 untuk transportasi militer. Brunei kata Teguh,
juga sudah mengoperasikan CN 235 dan sedang dalam pembicaraan untuk menambah
pesawat. Prospek lainnya juga datang dari Myanmar dan Bangladesh yang telah
melakukan pemesanan. Thailand sudah memesan delapan pesawat jenis NC 212-400
yang akan digunakan untuk keperluan membuat hujan buatan. Teguh yakin, potensi
besar PT DI dalam meraih pasar di Asia semakin besar. "Timor Leste dan
negara-negara Asean lainnya sangat berpotensi untuk pasar kami," ujarnya (http://www.republika.co.id/berita/ekonomi/bisnis/13/04/24/mlra3d-malaysia-thai-hingga-bangladesh-peminat-terbesar-cn235).
Dan
siapa sangka negara dengan penguasaan teknologinya yang selalu jauh di depan
Indonesia, Korea Selatan (Korsel), juga tak ragu membeli produk PT DI,
khususnya CN 235. Pada 2011, Korsel telah memesan empat pesawat CN-235/MPA
melalui kontrak yang ditandatangani pada 2008 senilai Rp 94,5 juta dolar AS. Pengerjaan
produksi pesawat tersebut ditargetkan tuntas dan diserahkan seluruhnya pada
2012.
Pesawat
CN-235 Maritime Patrol Aircraft/MPA tersebut dipesan oleh pemerintah Korea
Selatan untuk melengkapi polisi maritim negara itu. Pesawat CN-235/MPA
merupakan versi terbaru dari produksi PT DI dengan spesialisasi patroli
maritim. Pesawat tersebut dilengkapi dengan radar untuk mendeteksi kapal-kapal
di perairan. Selain itu, pesawat CN-235 versi militer tersebut juga bisa
dilengkapi dengan persenjataan seperti torpedo anti kapal selam serta persenjataan lainnya.
Korsel juga merupakan pengguna CN-235 versi VVIP (http://www.republika.co.id/berita/nasional/umum/11/09/09/lr8wpv-menhan-korsel-cn235-buatan-indonesia-layak-dibanggakan).
Menteri
Koordinator Perekonomian, Hatta Rajasa, mengatakan, Korea adalah salah satu pasar
terbesar penjualan pesawat buatan Indonesia jenis CN-235. "Bahkan sekarang Korea berencana menambah
kuota pembelian pesawat jenis tersebut," katanya. Ia mengatakan, dibanding
pesawat jenis Casa, kualitas pesawat CN-235 jauh lebih baik. Mengenai pemanfaatkan
pesawat ini oleh negeri sendiri, Hatta hanya mengatakan bahwa ke depan, pihaknya
akan mendorong penggunaan pesawat produksi dalam negeri untuk melayani jalur
antarpulau (http://www.republika.co.id/berita/nasional/umum/11/05/18/lle10h-cn-235-masih-sangat-diminati-korea-selatan-jadi-pasar-terbesar).
Negeri Sendiri Pilih Cina
Kenyataannya,
maskapai penerbangan negeri sendiri ternyata tak meminati pesawat buatan PT DI.
Pada Mei 2010, Prof Dr Ing BJ Habibie, menyayangkan maskapai penerbangan
Merpati yang lebih memilih membeli pesawat MA-60 buatan Xian Aircraf Industry
Corporation, Cina, dibanding pesawat CN-235 buatan PT DI. "Itu konyol,
kita bisa buat CN-235. Bukan Habibie yang membuatnya. Itu bapak Anda (almarhum
Prof Dr Said Djauharsjah Jenie, mantan Kepala BPPT yang merancang -red),"
ujar Habibie saat berbicara di depan jajaran staf Badan Perencanaan dan
Penerapan Teknologi (BPPT), Mei 2011.
Mantan
Presiden Indonesia ini menyesal atas dipilihnya pesawat yang ternyata tidak
memiliki sertifikasi dari Federal Aviation Administration (FAA) dan hanya
berjalan dengan sertifikasi dari otoritas penerbangan Cina dan Indonesia. Ia
mengatakan, ketika membuat pesawat komersil seperti CN-235, pihaknya harus
memberi jaminan kualitas sesuai aturan FAA. Aturan FAA, kata Habibie merupakan jaminan
keselamatan penerbangan di seluruh dunia yang merupakan kehendak pasar.
Sertifikat FAA ini menyebut, setiap
produk pesawat harus mampu take-off,
terbang, dan landing sebanyak 100.000
kali tanpa ada gerakan; akumulasi gerakan bisa membuat pesawat berubah
konstruksinya dan membahayakan keselamatan (http://www.republika.co.id/berita/nasional/umum/11/05/20/llho4b-bj-habibie-itu-konyol-tidak-pilih-cn-235).
CN 235 Lebih Baik
Pengamat
penerbangan, Hari Laksono, menilai, kualitas pesawat CN 235 memang jauh lebih
baik ketimbang pesawat MA-60 buatan Cina. Perbandingan kualitas kedua pesawat
dapat dilihat dari tingkat keamanan dan sertifikasi pesawat. Menurutnya, CN 235
memiliki sertifikasi Eropa dan diakui FAA. Sedangkan MA-60, walau menggunakan
mesin asal Amerika Serikat tetapi tidak memiliki sertifikasi.
Dijelaskannya,
MA-60 memiliki kombinasi antara mesin buatan AS dengan konstruksi pesawat
Antonov 24 dan 26 buatan Rusia. Dengan campuran itulah, dia memandang keamanan
pesawat jadi rentan. Pesawat buatan Rusia yang diadopsi MA-60, ungkap Hari,
memiliki angka kecelakaan tujuh kali dalam sejuta penerbangan yang dilakukan.
Sementara pesawat buatan Barat, termasuk CN 235, memiliki angka kecelakaan 0,7 berbanding
sejuta penerbangan. Dengan data itu, dapat diartikan angka kecelakaan MA-60
lebih tinggi dari CN 235.
Angka
kecelakan MA-60 pun ditambah dengan jatuhnya pesawat Merpati yang menggunakan
pesawat buatan pabrikan Cina itu pada, Sabtu (7/5/11) lalu di Kaimana, Papua
Barat. Terkait kecelakaan itu, dia menyoroti tidak adanya bentuk tanggung jawab
dari pihak pabrikan Cina. Dia membandingkan dengan pola yang dilakukan Boeing
dalam peristiwa kecelakaan Adam Air di Majene 2008 silam. “Begitu jatuh, Boeing
langsung memerintahkan pesawat sejenis di seluruh dunia dihentikan
pengoperasiannya hingga ditemukannya penyebab,” jelasnya.
Di
samping itu, FAA pun langsung mengirimkan tim untuk menyelidiki sebab
kecelakaan. Hal berbeda terjadi dalam kecelakaan Merpati MA-60 di Kaimana.
Hingga kini MA-60 tetap dioerasikan. “Dan juga belum ada bentuk tanggungjawab
dari Cina atas kecelakan ini.” (http://www.republika.co.id/berita/nasional/umum/11/05/10/lkzd9w-pengamatt-cn-235-lebih-baik-ketimbang-ma60).**
Tidak ada komentar:
Posting Komentar