7/05/2013

CN 235, Diminati Mancanegara, Dihindari Negeri Sendiri



Tak terdengar gaungnya di negeri sendiri, pesawat CN 235 ternyata diminati di mancanegara. Ketika sejumlah negara menjadikannya sebagai pesawat patroli maritim, PT Dirgantara Indonesia (DI), produsen CN 235, sontak kebanjiran peminat. Dirut PT DI mengatakan, CN 235 banyak dibutuhkan negara yang mengkhawatirkan masalah bajak laut, penyelundupan, atau imigran gelap. Popularitas CN 235 juga meningkat karena pesawat setipenya seperti Buffalo tidak diproduksi lagi. Anehnya, negeri sendiri malah lebih memilih  pesawat sejenis dari Cina yang terbukti lebih rentan kecelakaan.

ROL
Menteri Pertahanan Senegal, Augustine Tine, memuji kinerja pesawat CN 235 buatan Indonesia dan berminat menambah koleksinya. "Kami menggunakan pesawat itu untuk berbagai keperluan dan saya puas dengan kemampuannya," kata Augustine seusai pertemuan dengan Wakil Menteri Pertahanan (Wamenhan) Indonesia, Sjafrie Sjamsoeddin, di Dakar, Senegal.

Angkatan Bersenjata Senegal memiliki satu unit pesawat angkut militer CN 235 yang dibeli secara kredit dari penjamin di Belgia. Tingkat penggunaan pesawat tersebut sangat tinggi. "Besok saya akan naik pesawat itu ke daerah. Kadang digunakan untuk ke negara tetangga seperti Mali atau Benin," kata Augustine.

Sjafrie, didampingi Dirjen Strategi Pertahanan, Sonny Prasetyo, dan Direktur Pemasaran PT DI, Budiman Saleh, berada di Dakkar untuk menawarkan pesawat CN 235 dan generasi terbarunya CN 295 yang lebih canggih kepada pemerintah Senegal. "Saya berharap bisa tambah satu yang generasi baru, adakah diberikan fasilitas kreditnya?" tanya Augustine. Sjafrie pun menjawab, bisa-bisa saja. Wamenhan lalu mengundang Augustine datang ke Indonesia (http://www.republika.co.id/berita/nasional/umum/13/07/05/mpfmpq-merasa-puas-senegal-siap-beli-lagi-pesawat-ri).

Dimintai untuk Patroli Maritim
Sebelumnya, Augustine saat dikunjungi lima anggota DPR dari fraksi Demokrat, Golkar dan PDI Perjuangan, Mei lalu, menyatakan berminat membeli dua pesawat CN-235 versi 220. Pesawat itu akan digunakan untuk memenuhi kebutuhan VIP dan transportasi udara (http://www.republika.co.id/berita/nasional/politik/13/05/18/mn0161-dpr-senegal-tertarik-pesawat-cn235). Senegal rupanya masih pasar baru, karena “diam-diam”, negara tetangga Indonesia sendiri, Malaysia, sudah memiliki delapan unit CN 235. Negeri jiran ini menjadikan empat pesawat ini untuk keperluan transportasi militer, dan dua unit lainnya untuk keperluan “VIP” perdana menteri dan pemerintahan.

Namun karena kebutuhan patroli maritim negara itu tampaknya meningkat, Manajer pemasaran dan komersial PTDI, Teguh Graito, mengatakan, Malaysia telah meminta PT DI untuk mengonversi tiga unit pesawatnya itu menjadi pesawat patroli maritim (http://www.republika.co.id/berita/ekonomi/bisnis/13/04/24/mlra3d-malaysia-thai-hingga-bangladesh-peminat-terbesar-cn235). Pada kesempatan terpisah, Dirut PT DI, Budi Santoso, mengatakan, untuk mengawasi Kepulauan Spratly di Laut China Selatan yang dipersengketakan sejumlah negara, baik Tentara Diraja Malaysia maupun Brunei sama-sama mengerahkan pesawat CN-235 buatan PT DI.

Pesawat CN-235 yang diharapkan menjadi pesawat patroli maritim yang digunakan oleh semua negara ini, masih merupakan hasil kerjasama dengan Casa Spanyol. Di seluruh dunia saat ini kata Budi, masih beroperasi sekitar 50 pesawat CN-235 di berbagai negara buatan PT DI, dan sekitar 150 unit CN-235 buatan Casa Spanyol (http://www.republika.co.id/berita/breaking-news/ekonomi/10/12/29/155041-wuih-diposisikan-sebagai-pesawat-patroli-maritim-cn235-banjir-peminat).

Negara tetangga lainnya yang tercatat menggunakan produk pesawat PT DI adalah Filipina yang telah memiliki dua unit NC 212 untuk transportasi militer. Brunei kata Teguh, juga sudah mengoperasikan CN 235 dan sedang dalam pembicaraan untuk menambah pesawat. Prospek lainnya juga datang dari Myanmar dan Bangladesh yang telah melakukan pemesanan. Thailand sudah memesan delapan pesawat jenis NC 212-400 yang akan digunakan untuk keperluan membuat hujan buatan. Teguh yakin, potensi besar PT DI dalam meraih pasar di Asia semakin besar. "Timor Leste dan negara-negara Asean lainnya sangat berpotensi untuk pasar kami," ujarnya (http://www.republika.co.id/berita/ekonomi/bisnis/13/04/24/mlra3d-malaysia-thai-hingga-bangladesh-peminat-terbesar-cn235).

Dan siapa sangka negara dengan penguasaan teknologinya yang selalu jauh di depan Indonesia, Korea Selatan (Korsel), juga tak ragu membeli produk PT DI, khususnya CN 235. Pada 2011, Korsel telah memesan empat pesawat CN-235/MPA melalui kontrak yang ditandatangani pada 2008 senilai Rp 94,5 juta dolar AS. Pengerjaan produksi pesawat tersebut ditargetkan tuntas dan diserahkan seluruhnya pada 2012.

Pesawat CN-235 Maritime Patrol Aircraft/MPA tersebut dipesan oleh pemerintah Korea Selatan untuk melengkapi polisi maritim negara itu. Pesawat CN-235/MPA merupakan versi terbaru dari produksi PT DI dengan spesialisasi patroli maritim. Pesawat tersebut dilengkapi dengan radar untuk mendeteksi kapal-kapal di perairan. Selain itu, pesawat CN-235 versi militer tersebut juga bisa dilengkapi dengan persenjataan seperti torpedo  anti kapal selam serta persenjataan lainnya. Korsel juga merupakan pengguna CN-235 versi VVIP (http://www.republika.co.id/berita/nasional/umum/11/09/09/lr8wpv-menhan-korsel-cn235-buatan-indonesia-layak-dibanggakan).

Menteri Koordinator Perekonomian, Hatta Rajasa, mengatakan, Korea adalah salah satu pasar terbesar penjualan pesawat buatan Indonesia jenis CN-235.  "Bahkan sekarang Korea berencana menambah kuota pembelian pesawat jenis tersebut," katanya. Ia mengatakan, dibanding pesawat jenis Casa, kualitas pesawat CN-235 jauh lebih baik. Mengenai pemanfaatkan pesawat ini oleh negeri sendiri, Hatta hanya mengatakan bahwa ke depan, pihaknya akan mendorong penggunaan pesawat produksi dalam negeri untuk melayani jalur antarpulau (http://www.republika.co.id/berita/nasional/umum/11/05/18/lle10h-cn-235-masih-sangat-diminati-korea-selatan-jadi-pasar-terbesar).

Negeri Sendiri Pilih Cina
Kenyataannya, maskapai penerbangan negeri sendiri ternyata tak meminati pesawat buatan PT DI. Pada Mei 2010, Prof Dr Ing BJ Habibie, menyayangkan maskapai penerbangan Merpati yang lebih memilih membeli pesawat MA-60 buatan Xian Aircraf Industry Corporation, Cina, dibanding pesawat CN-235 buatan PT DI. "Itu konyol, kita bisa buat CN-235. Bukan Habibie yang membuatnya. Itu bapak Anda (almarhum Prof Dr Said Djauharsjah Jenie, mantan Kepala BPPT yang merancang -red)," ujar Habibie saat berbicara di depan jajaran staf Badan Perencanaan dan Penerapan Teknologi (BPPT), Mei 2011.

Mantan Presiden Indonesia ini menyesal atas dipilihnya pesawat yang ternyata tidak memiliki sertifikasi dari Federal Aviation Administration (FAA) dan hanya berjalan dengan sertifikasi dari otoritas penerbangan Cina dan Indonesia. Ia mengatakan, ketika membuat pesawat komersil seperti CN-235, pihaknya harus memberi jaminan kualitas sesuai aturan FAA. Aturan FAA, kata Habibie merupakan jaminan keselamatan penerbangan di seluruh dunia yang merupakan kehendak pasar. Sertifikat FAA ini menyebut,  setiap produk pesawat harus mampu take-off, terbang, dan landing sebanyak 100.000 kali tanpa ada gerakan; akumulasi gerakan bisa membuat pesawat berubah konstruksinya dan membahayakan keselamatan (http://www.republika.co.id/berita/nasional/umum/11/05/20/llho4b-bj-habibie-itu-konyol-tidak-pilih-cn-235).

CN 235 Lebih Baik
Pengamat penerbangan, Hari Laksono, menilai, kualitas pesawat CN 235 memang jauh lebih baik ketimbang pesawat MA-60 buatan Cina. Perbandingan kualitas kedua pesawat dapat dilihat dari tingkat keamanan dan sertifikasi pesawat. Menurutnya, CN 235 memiliki sertifikasi Eropa dan diakui FAA. Sedangkan MA-60, walau menggunakan mesin asal Amerika Serikat tetapi tidak memiliki sertifikasi.

Dijelaskannya, MA-60 memiliki kombinasi antara mesin buatan AS dengan konstruksi pesawat Antonov 24 dan 26 buatan Rusia. Dengan campuran itulah, dia memandang keamanan pesawat jadi rentan. Pesawat buatan Rusia yang diadopsi MA-60, ungkap Hari, memiliki angka kecelakaan tujuh kali dalam sejuta penerbangan yang dilakukan. Sementara pesawat buatan Barat, termasuk CN 235, memiliki angka kecelakaan 0,7 berbanding sejuta penerbangan. Dengan data itu, dapat diartikan angka kecelakaan MA-60 lebih tinggi dari CN 235.

Angka kecelakan MA-60 pun ditambah dengan jatuhnya pesawat Merpati yang menggunakan pesawat buatan pabrikan Cina itu pada, Sabtu (7/5/11) lalu di Kaimana, Papua Barat. Terkait kecelakaan itu, dia menyoroti tidak adanya bentuk tanggung jawab dari pihak pabrikan Cina. Dia membandingkan dengan pola yang dilakukan Boeing dalam peristiwa kecelakaan Adam Air di Majene 2008 silam. “Begitu jatuh, Boeing langsung memerintahkan pesawat sejenis di seluruh dunia dihentikan pengoperasiannya hingga ditemukannya penyebab,” jelasnya.

Di samping itu, FAA pun langsung mengirimkan tim untuk menyelidiki sebab kecelakaan. Hal berbeda terjadi dalam kecelakaan Merpati MA-60 di Kaimana. Hingga kini MA-60 tetap dioerasikan. “Dan juga belum ada bentuk tanggungjawab dari Cina atas kecelakan ini.” (http://www.republika.co.id/berita/nasional/umum/11/05/10/lkzd9w-pengamatt-cn-235-lebih-baik-ketimbang-ma60).**

Tidak ada komentar:

Posting Komentar